Makalah Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Berbicara mengenai perilaku organisasi berarti membahas tentang perilaku manusia. Manusia adalah pendukung utama setiap organisasi apapun bentuknya. Perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok atau organisasi adalah awal dari perilaku organisasi itu. Kelompok merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tiap hari manusia akan terlibat dalam aktivitas kelompok. Demikian pula kelompok merupakan bagian dari kehidupan organisasi. Pada umumnya manusia yang menjadi anggota dari suatu organisasi besar atau kecil adalah sangat kuat kecenderungannya untuk mencari keakraban dalam kelompok-kelompok tertentu. Dimulai dari adanya kesamaan tugas pekerjaan yang dilakukan, kedekatan tempat kerja, seringnya berjumpa, adanya kesamaan kesenangan bersama, maka timbullah kedekatan satu sama lain. Mulailah mereka berkelompok dalam organisasi.
Perilaku di dalam organisasi berasal dari dua sumber yaitu individu dan kelompok. Perilaku kelompok adalah semua kegiatan yang dilakukan dua atau lebih manusia yang berinteraksi dan saling mempengaruhi dan saling bergantung untuk menghasilkan prestasi yang positif  baik untuk jangka panjang dan pertumbuhan diri.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya. Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok manusia lainnya. Karena hal itu dikatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain. Hal-hal yang dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk pekerjaan yang diinginkan merupakan unsur sebuah budaya. Maka, aspek sosial ditinjau dari hubungan antarindividu, antar masyarakat serta aspek budaya ditinjau dari proses pendidikan manusia tersebut melalui materi yang di pelajari, cara belajarnya, bagaimana gaya belajarnya, bentuk- bentuk belajar serta pengajaranya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap berkesinambungan di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat) unsur sosial merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir. Langeveld mengatakan “setiap bayi yang lahir dikaruani potensi sosialitas atau kemampuan untuk bergaul, saling berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan saling menerima”. Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari, saat terjadi interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang lain atau individu dengan kelompok, serta antar kelompok.
Berbicara tentang pendidikan tentunya tidak hanya sebatas proses yang terjadi di dalam lembaga sekolah semata, tetapi dalam skala yang lebih luas sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pemberdayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui apabila kita menempatkannya dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat.
Pendidikan dalam konteks di atas (kebudayaan) meliputi masalah-masalah yang pelik seperti konsep kekuasaan (power). Sebab, pada hakikatnya kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, yang berati hakikatnya juga mempertahankan kekuasaan tertentu.
Dengan kondisi yang demikian, ketika pendidikan sudah menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan, maka tujuan dari pendidikan pun akan menjadi tidak jelas, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti layangan putus, yang tidak tahu kemana arah angin akan membawanya, jangankan ingin memberi angin segar bagi keberlangsungan suatu bangsa, pendidikan yang demikian justru hanya akan menjadi agen kepentingan elit politik, yang pada gilirannya tidak mustahil menjadi bom yang siap memporakporandakan bangsa ini. Oleh karenanya, pendidikan sebagai bentuk pelaksanaan konsep kekuasaan Negara perlu dirumuskan peranannya agar terdapat keseimbangan antara kebebasan individu serta keterikatan individu sebagai warga negara dalam wadah persatuan Indonesia. Sebab, proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik kesadaran akan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.
Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan menjelaskan tentang perilaku individu dan kelompok dalam organisasi serta kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan.

B.       Permasalahan
1.      Bagaimana perilaku individu dalam oganisasi?
2.      Bagaimana perilaku kelompok dalam organisasi?
3.      Bagaimana perilaku organisasi yang dapat diperankan kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan?
4.      Bagaimana kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami perilaku individu dalam organisasi.
2.      Untuk mengetahui dan memahami perilaku kelompok dalam organisasi.
3.      Untuk mengetahui dan memahami perilaku organisasi yang dapat diperankan kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan.
4.      Untuk mengetahui dan memahami kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan.











BAB II
PERILAKU INDIVIDU DAN KELOMPOK DALAM ORGANISASI SERTA KEKUASAAN DAN POLITIK DALAM
LEMBAGA PENDIDIKAN

1.        Perilaku Individu dalam Organisasi
A.       Pengertian Perilaku Individu
Menurut kamus bahasa Indonesia, individu adalah pribadi orang, seorang, organisme yang hidupnya sendiri.[1] Sedangkan perilaku adalah tingkah laku, tanggapan seseorang terhadap lingkungan. Jadi, Perilaku individu adalah perilaku seseorang sehari-hari di dalam kehidupannya. Faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah kepribadian, persepsi, sikap, kemampuan dan keterampilan, latar belakang keluarga, biografis, pengalaman dan kapasitas belajar.
Organisasi adalah sistem kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.[2] Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik pula. Adapun karakteristik yang dipunyai organisasi antaranya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system), sistem pengendalian dan lain sebagainya.
Perilaku individu dalam organisasi adalah bentuk interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik organisasi. Setiap individu dalam organisasi, semuanya akan berperilaku berbeda satu sama lain, dan perilakunya adalah ditentukan oleh masing-masing lingkungannya yang memang berbeda.
Perilaku individu juga dapat dipahami dengan mempelajari karakteristik individu. Menurut Nimran, karakteristik yang melekat pada individu terdiri dari ciri-ciri biografis, kepribadian, kemampuan, persepsi dan sikap. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing karakteristik tersebut.
1)      Ciri-ciri biografis, yaitu ciri -ciri yang melekat pada individu. Antara lain.
a.       Umur
b.      Jenis kelamin
c.       Status perkawinan
d.      Jumlah atau banyaknya tanggungan
e.       Masa kerja
2)      Kepribadian
kepribadian sebagai pengorganisasian yang dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian diri dengan lingkungannya” dia menambahkan bahwa kepribadian sebagai keseluruhan cara bagaimana individu beraksi dan berinteraksi dengan orang lain.
3)      Kemampuan
Kemampuan adalah kapasitas seseorang untuk melaksanakan beberapa kegiatan dalam satu pekerjaan. Kategori kemampuan dikelompokkan menjadi dua yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
4)      Persepsi
Persepsi sebagai suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan, dan menafsirkan stimulus lingkungan. Dia menambahkan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi persepsi.
5)      Sikap (Attitude)
Sikap merupakan suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan padasituasi yang tepat.[3] Sikap merupakan satu faktor yang harus dipahami agar dapat memahami perilaku orang lain. Dengan saling memahami individu maka organisasi akan dapat dikelola dengan baik.



B.       Memahami Perilaku Manusia
Menurut Thoha, perbedaan perilaku manusia beberapa aspek mendasar sebagai berikut:
1.         Manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak sama. Berbagai pendapat menjelaskan penyebab perbedaan ini seperti ada yang beranggapan karena disebabkan sejak lahir manusia ditakdirkan tidak sama kemampuannya, ada yang mengatakan karena perbedaan dalam kemampuan menyerap informasi dari suatu gejala, ada yang beranggapan karena kombinasi diantara keduanya.[4]
2.         Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda. Perilaku umumnya didorong oleh serangkaian kebutuhan, yaitu beberapa pernyataan dalam diri seseorang (internal state) yang menyebabkan seseorang itu berbuat untuk mencapainya sebagai objek atau hasil. Orang berpikir tentang masa depan, dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak.

C.       Kinerja Individu
Perilaku individu dapat dipengaruhi oleh effort (usaha), ability (kemampuan) dan situasi lingkungan.
1.         Effort
Usaha individu diwujudkan dalam bentuk motivasi. Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.[5]
2.         Ability
Ability seorang individu diwujudkan dalam bentuk kompeten. Individu yang kompeten memiliki pengetahuan dan keahlian. Sejak dilahirkan setiap individu dianugerahi Tuhan dengan bakat dan kemampuan. Bakat adalah kecerdasan alami yang bersifat bawaan. Kemampuan adalah kecerdasan individu yang diperoleh malalui belajar.

2.        Perilaku Kelompok dalam Organisasi
A.       Pengertian Perilaku Kelompok
Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya.[6] Sedangkan kelompok merupakan dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, bergabung untuk mencapai sasaran tertentu. Perilaku adalah semua yang dilakukan seseorang. Bentuk perilaku seseorang adalah semua yang aktifitas, perbuatan dan penampilan diri sepanjang hidupnya. Bentuk perilaku manusia adalah aktifitas individu dengan relasinya dalam lingkungannya.
Jadi, definisi dari pengertian perilaku kelompok adalah suatu aktifitas yang dilakukakan oleh seorang individu dengan yang lainnya untuk mendapatkan aspirasi anggota, berinteraksi dari setiap individu dan saling bergabung untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

B.       Bentuk-bentuk Kelompok
Kelompok dapat berbentuk kelompok formal (formal group), ataupun merupakan kelompok informal (informal group). Kelompok formal dibentuk organisasi, sedangkan kelompok informal dibentuk oleh sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama.
Kelompok formal (formal group) dapat diartikan sebagai kelompok yang diciptakan oleh keputusan manajerial untuk mencapai tujuan organisasi. Kelompok ini terdiri dari kelompok komando dan kelompok tugas. Kelompok komando (command group) yaitu adanya rantai komando dari pimpinan ke yang dipimpin, maka perintah pemimpin haruslah dikerjakan. Sedangkan kelompok tugas (task group) bersifat komunal dan kebersamaan dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama.[7] Kelompok informal (informal group) terbentuk secara alamiah dalam lingkungan kerja yang muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan akan kontak sosial. Tipe interaksi diantara individu secara informal sangat mempengaruhi perilaku dan kinerja mereka.
Kelompok informal dibagi menjadi dua, yaitu kelompok minat dan kelompok persahabatan. Kelompok minat (interest group) yaitu beberapa individu sengaja berkelompok karena mempunyai kesamaan minat dan kepentingan. Sedangkan kelompok persahabatan (friendship group) yaitu beberapa individu berkelompok karena terdapat kecocokan dan itu menimbulkan kesenangan dan kegembiraan sehingga mendorong orang untuk mengulangi dengan membuat kelompok.

C.        Tahap-tahap Perkembangan Kelompok
Pengembangan kelompok bisa berjalan dalam dua arah positif dan negatif. Kita mempelajari perilaku kelompok ini dengan tujuan untuk dapat mengembangkan kelompok ke arah yang positif dan menghindari arah pengembangan yang negatif.[8]
Pengembangan kelompok juga dalam mendirikan dan membesarkan kelompok, ada lima tahap pengembangan yang dikemukakan oleh Bruce W. Tuckman, dalam jurnal Pycological Bulletin, June 1965, yaitu:
a.     Tahap Forming (pembentukan)
b.    Tahap Storming (keributan)
c.     Tahap Norming (pengaturan norma)
d.    Tahap Performing (melaksanakan)
e.     Tahap Adjourning (pengakhiran)




3.        Perilaku Organisasi Pendidikan
A.       Tujuan dan Fokus Perilaku Organisasi
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Kajian perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Dalam bidang manajemen pendidikan, kajian tentang perilaku organisasi telah lama menjadi perhatian para pakar terutama karena organisasi pendidikan dicirikan oleh keterlibatan sejumlah besar manusia, mulai dari tenaga kependidikan, pendidik, siswa, orangtua dan masyarakat. Dengan kompleksitas itu pemahaman terhadap ilmu perilaku organisasi merupakan suatu hal yang penting khususnya bagi pengelola dalam meningkatkan kinerja organisasi pendidikan.
Perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi, yaitu individu, kelompok, dan struktur atau organisasi. Singkatnya, perilaku organisasi merupakan kajian terhadap apa yang dilakukan orang dalam organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi tersebut.

B.       Pendekatan Antardisiplin dalam Perilaku Organisasi
Menurut Robbins, perilaku organisasi merupakan ilmu terapan yang dibangun dengan dukungan sejumlah disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, dan ilmu politik. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan, dan mengubah perilaku manusia. Sumbangan terpenting dari ilmu psikologi terhadap perilaku organisasi adalah kajian tentang pembelajaran, motivasi, kepribadian, persepsi, pelatihan, keefektifan kepemimpinan, kepuasan kerja, pengambilan keputusan individu, penilaian kinerja, pengukuran sikap, seleksi karyawan, disain kerja, dan stres kerja. Sumbangan terpenting psikologi terhadap perilaku organisasi terutama berkaitan dengan tiga hal, yaitu motivasi, keefektifan kepemimpinan, dan stres kerja. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang menggerakkan individu.
Dalam bidang pendidikan, motivasi menjadi kajian yang lebih kompleks lagi karena berkaitan dengan beragamnya status manusia di dalamnya seperti guru, siswa, kepala sekolah, dan personil lainnya.

C.       Efektifitas Kepemimpinan
Efektifitas kepemimpinan menjadi salah satu tanggung jawab perilaku organisasi. Kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang untuk menggerakkan orang lain dengan memimpin, membimbing, memengaruhi orang lain, untuk melakukan sesuatu agar dicapai hasil yang diharapkan.[9]
Kata “sadar” menunjukkan bahwa kepemimpinan didasarkan oleh kerelaan dan bukan paksaan. Hal ini berbeda dengan kekuasaan yang diterima sebagai suatu keterpaksaan. Pengakuan terhadap pentingnya variabel kepemimpinan dalam organisasi telah menjadi dasar analisis para ahli dari berbagai kalangan. Dari analisis itu terungkap pentingnya strategi kepemimpinan yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perilaku kepemimpinan yang efektif. Teori kepemimpinan perilaku yang sudah lama dikenal misalnya, memandang kepemimpinan yang efektif (yang mendorong kinerja bawahan) adalah kepemimpinan yang memperhatikan dua aspek secara bersamaan: orientasi terhadap tugas dan orientasi terhadap manusia. Orientasi terhadap tugas melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang jelas dan sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia melahirkan kepemimpinan kesejawatan; kemauan pemimpin mendengarkan suara hati bawahan, memanusiakan bawahan dan mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek kehidupan organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan partisipatif meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada gilirannya meningkatkan kinerja mereka.

D.       Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepemimpinan menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pimpinan dengan bawahan sehingga kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin diimplementasikan dalam bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya diawali dengan upaya memengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai dengan tujuan organisasi.[10]
Sedangkan Wiles dan Bondi (1986) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “a power relationship: the leader is percieved as having the right to prescribe behavior patterns for other. Sources of power include referent power (liking), expert power, coercive power and legitimate (authority), power”.
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan adminstratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral. Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator
.
Kepala sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa kehadiran kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang menjalankan perannya dalam memimpin sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ia berperan sebagai pemimpin pendidikan.[11]

4.        Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga Pendidikan
A.       Konsep-konsep Kekuasaan
Masalah kekuasaan merupakan fenomena yang sangat menarik khususnya bagi masyarakat modern. Selain hampir seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri dalam arti ingin menguasai sesuatu merupakan sifat dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kekuasaan mungkin hanya diidentikkan dengan kekuasaan politik, padahal itu hanya sebahagian dari apa yang disebut kekuasaan sosial (social Power).
Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya terhadap alam. Dalam pengertian yang lain, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Disini dapat kita lihat bahwa kekuasaan merupakan suatu hal yang hakiki bagi manusia dalam arti menyimpan dan menggunakan energi yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang lain dari lainnya.
Arthur Schopenhauer, menjelaskan tentang arti kekuasaan dari segi kemanusiaan, menurutnya sumber kekuasaan tidaklah datang dari kekuatan yang transenden, meliankan berada dalam diri manusia, yaitu kehendak (will). Tambahnya, hanya ada satu kebenaran yang pasti di balik kenyataan, yaitu berbagai pertarungan yang terus menerus, yang penuh gairah dari kehendak manusia, yang kehendak tersebut sangat sulit untuk dihindari. Falsafah Schopenhauer ini selanjutnya mempengaruhi Nietzsche, ia berpendapat bahwa dari berbagai macam kehendak yang paling menentukan adalah kehendak berkuasa (the will to power).
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa kekuasan merupakan karakter khas manusia untuk bisa berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam proses interaksinya terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat menaikkan kelas manusia tersebut untuk bisa mendominasi.

B.       Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan
Ketika membicarakan hubungan kekuasaan dan pendidikan, maka asumsi yang banyak berkembang bahwa keduanya merupakan bagian yang terpisah, dan tidak memiliki hubungan satu sama lainnya, padahal keduanya (kekuasaan dan pendidikan) merupakan dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara berkembang maupun Negara maju. Keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara, keduanya merupkan sumber transformasi sosial dalam masyarakat modern.
Pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata memiliki konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan yang kita lihat sehari-hari. Jenis kekuasaan tersebut dapat kita bedakan menjadi kekuasaan yang transformative dan kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.[12]
Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih bayak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
1.         Proses Domestifikasi dan Stupidikasi
Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta didik menjadi menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa.
2.         Indoktrinasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi. Dengan kondisi yang demikian, maka apa yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransferkan ilmu pengetahuan secara paksa.
3.         Demokrasi
Inti dari pendidikan demokrasi ialah manusia yang bebas, yaitu seseorang yang menghadapi masalah-masalah hidup yang penuh problematic dengan alternatif-alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi yang terbaik. Dari sini jelas bahwa tuntutan dari demokratis yaitu adanya kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapkan kepada seseorang. Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis kungkungan.
4.         Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan capital budaya yang sangat ampuh oleh suatu masyarakat dalam melanjutkan kehidupannya. Masyarakat yang ketiadaan capital budaya akan sangat rentan kepada disintegrasi pada waktu mengalami krisis. Kita bisa lihat bagaimana Negara-negara di Asia tenggara ketika menghadapi krisis tahun 1997, akibat kurangnya capital budaya tidak kuat menahan krisis sehingga berakibat keterpurukan yang berlarut seperti di Indonesia. Pengalaman ini kiranya cukup mengajarkan betapa pentingnya kekuasaan yang berakar dari bawah (grass-root) atau yang berdasarkan kepada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Iniah yang disebut tribalisme positif, yang merupakan kekuatan yang mengikat dari suatu masyarakat.
Integrasi sosial hanya dapat ditumbuhkan dari bawah, dari pendekatan multikulturalisme dalam pengembangan budaya dan pengembangan pendidikan.  Sumber kekuasaan bukan berasal dari atas tetapi yang tumbuh dari bawah/masyarakat adat. Kekuasaan yang datang dari atas hanya akan mematikan budaya dan menghasilkan budaya yang cendrung kepada uniformisme dan menghilangkan budaya local yang justru merupakan kekuatan dari kebudayaan itu sendiri.
Dari penjelasan diatas tentang hubungan pendidikan dan kekuasaan termasuk masalah-masalah yang ada di dalamnya, maka dapat kita catat beberapa hal penting. Pertama, proses pendidikan menghasilkan manusia yang bebas, yang mempunyai akal budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis dan kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Kedua, kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang terbatas  tetapi sekaligus pula bebas untuk dikembangkan oleh individu-individu dalam mengembangkan individunya sendiri melalui partisipasi antara sesamanya dalam lingkungan kebudayaan.
Selanjutnya, pendidikan sering juga dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara–negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.

C.       Peran Negara dalam Pembangunan Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian  rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program-program pendidikan tersebut. Akan tetapi, campur tangan dari pemerintah tidak selamanya berdampak positif bagi penyelenggaraan pendidikan, kekuasaan pemerintah dalam manajemen pendidikan nasional harusnya tidak sampai melampaui batas yang dapat melanggar hak asasi manusia.
Kekuasaan politik secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk “hidden curriculum”, yang tanpa disadari suatu sistem pendidikan telah menjalankan berbagai macam kepentingan para penguasa. Karenanya dalam reformasi pendidikan dewasa ini dikembangkan kesadaran masyarakat dan peserta didik terhadap adanya hidden curriculum dibalik kurikulum sistem pendidikan. Selanjutnya, terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan perspektif studi cultural.
1.         Perspektif Mikro
Dalam perspektif mikro, yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Peserta didik dalam proses belajar berkaitan dengan tujuan pendidikan, metodologi, dan evaluasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh sistem internal, yaitu; 1) pembuat kebijakan, 2) manajemen dan 3) service. Selanjutnya, keseluruhan sistem tersebut didukung oleh sistem eksternal, yaitu; 1) budaya, 2) kekuatan politik dan 3) kondisi ekonomi.
Dalam pandangan mikro ini masing-masing komponen mempunyai permsalahannya sendiri dalam pengembangannya. Negera dapat berbuat sesuatu atau melakukan intervensi dalam perumusan tujuan, penentuan metodologi dan cara evaluasi pembelajaran. Keseluruhan upaya Negara tersebut tergantung kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, sistem manajemen yang digunakan, serta service pendidikan yang diberikan  dengan bantuan Negara. Keseluruhannya juga tergantung kepada budaya masyarakat untuk menopang dan berkomitmen atas terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
2.         Perspektif Studi Kultural
Dalam perspektif studi cultural, sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhun.[13] Dalam hal ini, antara Negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Peran Negara dalam perspektif ini dapat bersifat positif apabila lembaga-lembaga pendidikan juga mempunyai control terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara.
Lembaga pendidikan dalam perspektif ini bukanlah merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan Negara, melainkan sebagai partner dari Negara dalam melaksanakan kekuasaannya. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh dalam metodologi pendidikan, dalam manajemen dan service pendidikan terhadap rakyat banyak.
Dengan melihat dua perspektif sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat kita uraikan berbagai peranan Negara terkait pendidikan. Secara garis besar peranan tersebut adalah:
1)        Pemerataan pendidikan. Jika pada masa lalu pemerataan pendidikan berorientasi kepada target, maka hari ini dan masa depan haruslah diarahkan kepada kualitas.
2)        Kualitas. Jika pada masa lalu kualitas dicapai dengan evaluasi dan standarisasi semu melalui tujuan terpusat dan kurikulum baku secara nasional, maka hari ini dan kedepan kualitas utama yang ingin dicapai ialah yang tertinggi sesuai kebutuhan dan kondisi daerah.
3)        Proses pendidikan. Pada masa lalu proses pendidikan tidaklah dipertimbangkan.
4)        Metodologi. Pada masa lalu metodologi adalah indiktrinasi sedangkan pada masa depan metodologi yang efektif adalah dialog.
5)        Manajemen. Pada masa lalu manajemen dipegang oleh Negara dengan birokrasinya yang memegang, pada masa depan manajemen terpusat pada institusi sekolah.
6)        Pelaksanaan service pendidikan. Pada masa lalu Negara adalah pelaku utama. Pada masa depan pemerintah sebagai partner yang cukup memberikan arah.
7)        Perkembangan demokrasi. Pada masa lalu Negara menentukan bingkai dalam berdemokrasi dan terbatas pada prosedur. Pada masa depan Negara mengarahkan perubahan tingkah laku yang demokratis.
8)        Perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa lalu bukan merupakan  suatu bahan pertimbangan dalam penyususnan kurikulum.
9)        Perkembangan nilai moral dan agama. Pada masa lalu ditentukan oleh Negara  dalam kurikulum yang terpusat. Pada masa depan berakar dari kebudayaan dan agama setempat.
10)    Nasionalisme. Pada masa lalu pemaksaan dari atas dan bersifat formalistik dan mengabaikan identitas daerah. Pada masa depan pendidikan multikulturalisme menjadi sangat relevan untuk dikembangkan.
11)    Pendanaan. Pada masa lalu seluruhnya ditaggung oleh Negara. Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah. Pada masa depan Negara menggunakan dana secara selektif sebagai sarana intervensi pemerataan pendidikan, kualitas.
12)    Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun. Pada masa lalu ditentukan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Pada masa depan pelaksanaan wajib belajar sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah dan dapat dilaksanakan secara bertahap.
Demikianlah secara garis besar peranan Negara dalam pendidikan yang berubah fungsinya dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Kemauan politik telah ada dengan amandemen UUD mengenai pendidikan. Dari segi teknis, diperlukan penelitian-penelitian akuntabilitas yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai justifikasi pengalokasian dana nasional dan daerah maupun dana dari masyarakat. Dimasa lalu apropriasi dana kebanyakan didasarkan atas asumsi dan conjectures sehingga cendrung semata-mata kearah pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas anggaran Negara harus ditopang oleh riset yang terus menerus dan ekstensif.

D.       Politik Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat.
Jika politik dipahami sebagai “praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumberdaya dan nilai- nilai sosial”. Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan menurut Baldridge, lembaga-lembaga pendidikan dipandang sebagai sistem politik mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sistem politik.
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitanya dengan aspek- aspek kependidikan.[14]






















BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku individu atau kelompok.
Pertama, penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Ketiga, yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Berhasil atau tidaknya organisasi mencapai visi dan misinya juga dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan dalam organisasi seperti “membuat keputusan, menetapkan sasaran, memilih dan mengembangkan personalia, mengadakan komunikasi, memberikan motivasi, dan mengawasi pelaksanaan manajemen”.
Kemudian, pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga- lembaga pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung unsur- unsur politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitanya dengan aspek- aspek kependidikan.
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan. Terkait peran Negara terhadap proses pendidikan secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan perspektif studi cultural. Dalam perspektif mikro yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dalam perspektif studi cultural, sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhan.

B.       Kritik dan Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah Organisasi Kepemimpinan Pendidikan tentang Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi serta Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga Pendidikan ini. Namun, dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi ke arah yang lebih baik dan semoga makalah kami ini bermanfaat bagi kita semua.




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Idochi. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Badrudin. 2015. Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Danim, Sudarwan dan Khairil. 2010. Psikologi Pendidikan: Dalam Perspektif Baru. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Djaali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Fida. 2011. Aspek-aspek Sosial dalam Pendidikan. Palembang: http://pandidikan.blogspot.co.id/2011/04/aspek-aspek-sosial-dalam-pendidikan.html. diakses pada tanggal 1 April 2016 pukul 19.00.

Maulana, Rizky. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Lima Bintang.

Nawawi, Hadari. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT Gunung Agung.

Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suharsaputra, Uhar. 2013. Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Sutrisno, Edy. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana.

Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesia Tera.

Wahjono, Sentot Imam. 2010. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Supervisi Pendidikan

Makalah Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan, serta Social Demand Approach