Makalah Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan, serta Social Demand Approach
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kata
pendidik bagi awam atau pembaca umumnya langsung mengaitkan dengan masalah
sekolah dalam arti pertemuan guru dan murid. Sehingga orang tua merasa
berkewajiban untuk mendidik anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung
lewat persekolahan.
Masalah
dasar dan tujuan pendidikan adalah suatu masalah yang sangat fondamentil dalam
pelaksanaan pendidikan. Sebab dari dasar pendidikan itu akan menentukan corak
dan isi pendidikan. Dan dari tujuan pendidikan akan menentukan ke arah mana
anak didik itu dibawa.
Masalah
pendidikan adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Bukan
saja sangat penting, bahkan masalah pendidikan itu sama sekali tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam
kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar
ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan di negara itu.
Mengingat
sangat pentingnya pendidikan itu bagi kehidupan bangsa dan negara, maka hampir
seluruh negara di dunia ini menangani secara langsung masalah-masalah yang
berhubungan dengan pendidikan. Dalam hal ini masing-masing negara itu
menentukan sendiri dasar dan tujuan pendidikan di negaranya. Masing-masing
bangsa mempunyai pandangan hidup sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan yang
lain.
Demikian
pula masing-masing orang mempunyai bermacam-macam tujuan pendidikan, yaitu
melihat kepada cita-cita, kebutuhan dan keinginannya. Ada yang mengharapkan
supaya anaknya kelak menjadi orang besar yang berjasa kepada nusa dan bangsa.
Ada yang menginginkan supaya anaknya menjadi dokter, insinyur atau seorang ahli
seni.
Semuanya
itu tergantung kepada keinginan tiap-tiap orang untuk mengarahkan anaknya agar
tercapai hajatnya itu.
Berhasil
atau tidaknya keinginan tiap-tiap orang ada sangkut pautnya dengan bakat dan
pembawaan dari tiap-tiap anak itu sendiri, yang harus diperhatikan oleh orang
tuanya.
Peningkatan mutu pendidikan dirasakan sebagai suatu kebutuhan
bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang bermutu dapat
menunjang pembangunan disegala bidang. Oleh sebab itu, perlu adanya pemahaman
tentang latar belakang dan tujuan pendidikan secara mendalam. Apabila kita
telah memamahami latar belakang dan tujuan pendidikan, penulis yakin bahwa kita
bisa memajukan pendidikan secara nasional. Tujuan pendidikan itupun akan
menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Untuk itu maka kita harus benar
benar memahami apa latar belakang dan tujuan pendidikan yang nantinya bisa
dicapai.
B.
Permasalahan
1.
Bagaimana latar belakang pendidikan?
2.
Apa pengertian pendidikan?
3.
Apa tujuan pendidikan?
4.
Apa social
demand approach?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan memahami latar belakang
pendidikan.
2.
Untuk mengetahui dan memahami dasar dan tujuan
pendidikan.
3.
Untuk mengetahui dan memahami tujuan pendidikan.
4.
Untuk mengetahui dan memahami apa social demand approach.
BAB II
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PENDIDIKAN,
SERTA SOCIAL DEMAND APPROACH
Pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara
sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teori dan praktik yang
berkembang dalam kehidupan. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut
peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana mencapai cita-citanya. Akan tetapi
di balik itu, semakin tinggi cita-cita yang hendak diraih, maka semakin
kompleks jiwa manusia itu, karena di dorong oleh tuntutan hidup yang meningkat
pula.
Proses pendidikan tidak terlepas drai faktor psikologis,
fisik manusia dan pengaruh faktor lingkungan. Proses pendidikan harus berpegang
pada petunjuk-petunjuk para psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan
dan psikologi agama. Dengan demikian proses pendidikan akan berlangsung secara
sistematis dan terorganisir dengan baik.
A.
Latar Belakang Pendidikan
Sejarah adalah keadaan masa lampau
dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh
konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini,
termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budi daya manusia. Demikianlah ada
sejarah candi, sejarah fosil, sejarah batu-batuan, sejarah perkembangan benua
dan pulau, sejarah politik, sejarah suatu negara, sejarah ilmu, sejarah
pendidikan, dan sebagainya.
Sejarah penuh dengan
informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik,
moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya. Sejarah tentang candi Borobudur
misalnya mengandung konsep tentang cara membuat candi itu, tujuan yang ingin
dicapai, proses pembuatnya, dan hasil yang bisa dinikmati hingga saat ini.
Informasi-informasi tersebut di atas
merupakan warisan generasi muda dan generasi pendahulunya yang tidak ternilai
harganya. Generasi muda banyak belajar dari informasi ini. Belajar dalam arti
memanfaatkan informasi ini dalam upaya memajukan diri. Bukan belajar hanya
menerima dan bertahan dalam kebudayaanitu, melainkan kebudayaan itu dijadikan
landasan dan bahan perbandingan untuk maju.
Demikian juga dalam bidang
pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menangani bidang itu, terlebih dahulu
memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat nasional maupun yang
internasional. Dengan cara ini mereka tahu apa yang sudah dikerjakan oleh
bangsanya dan hasil yang diperoleh, mereka juga bisa memeriksa apakah sudah
cocok dengan keadaan/ tujuan pendidikan sekarang. Sebagai bahan tambahan,
mereka juga mencari informasi pada sejarah pendidikan dunia.
Umur sejarah pendidikan dunia sedah
panjang sekali. Mulai dari zaman Hellenisme tahun 150 SM - 500, ke zaman
pertengahan tahun 500 – 1500, zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman
Reformasi dan Kontra Reformasi pada tahun 1600-an.[1]
Pendidikan pada zaman ini belum banyak memberikan kontribusinya pada pendidikan
zaman sekarang. Oleh sebab itu, pendidikan yang terjadi pada zaman ini tidak
diuraikan.
Sejak awal sejarah, dambaan manusia
untuk lebih mengetahui tentang diri dan alamnya, mendorong berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ini menjadi pemacu terbentuknya pusat-pusat pembelajaran,
perguruan dan universitas-universitas di dunia.
Kata universitas berasal dari
bahasa Latin ‘universitas magistrorum et scholarium, yang kurang lebih
berarti kumpulan para guru dan sarjana/ siswa ilmuwan (community of teachers
and scholars). Ini mirip dengan istilah sanghrama. Sangha
artinya “komunitas” dan arama artinya “tempat, akomodasi”.
Pusat-pusat pembelajaran tertua di
dunia dimulai dengan terbentuknya berbagai institusi pembelajaran
seperti di Ghandara, Takshasila pada abad ke-7 SM di Punjab,
Pakistan, ‘Academy’ yang dipimpin oleh Plato di Yunani pada abad
ke-4 SM, ‘Taixue’ pada abad ke-3 M di Cina, dan ‘Pandidakterion’ pada
abad ke-5 SM di Konstantinopel, serta ‘Sanghrama Nalanda’ di India pada
abad ke-5. Apa yang kita kenal sebagai pelopor universitas modern mulai
terbentuk di Bologna pada abad ke-11 M, diikuti universitas-universitas lain
seperti University of Paris, University of Oxford, University Of Cambridge pada
abad ke-12 atau 13.
Pada dasarnya, yang diajarkan di
universitas-universitas pada waktu itu adalah trivium (tatabahasa,
dialektika dan logika), dan quadrivium (matematika, ilmu ukur, musik dan
astronomi).[2]
Menurut catatan penjelajah yang
datang ke Sriwijaya pada abad ke-7, di Nusantara ini telah mempunyai pusat
belajar dengan mata pelajaran mencakup pancavidya, yaitu logika, tata
bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian serta metafisika dan filsafat.
Di abad ke-11, seorang terpelajar dari India, datang dan belajar di Sriwijaya,
beliau akhirnya menjadi seorang cendekiawan terkemuka dan membawa pengaruh yang
luar biasa terhadap sejarah pembelajaran di dunia, hingga hari ini.
Dengan demikian, jauh sebelum
berdirinya universitas-universitas modern di dunia, Indonesia telah mempunyai
pusat pembelajaran yang cukup “advanced,” terbukti dari banyaknya para
pakar, terutama dari India dan Cina yang belajar dan mengajar di Sriwijaya,
paling tidak selama abad ke-7 hingga abad ke-11 Masehi.
1.
Pendidikan
Pra Kemerdekaan
Pada waktu bangsa Indonesia berjuang merintis kemerdekaan,
ada tiga tokoh pendidikan sekaligus pejuang kemerdekaan yang berjuang melalui
pendidikan. Mereka membina anak-anak dan para pemuda melalui lembaganya
masing-masing untuk mengembalikan harga diri dan martabatnya yang hilang akibat
penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh pendidik itu adalah Mohamad Syafei, Ki Hajar
Dewantara, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan.[3]
Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad
ke-18, ketika Belanda mengakhiri politik “tanam paksa” menjadi politik etis,
sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam
praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia
Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi
terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan
pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam
administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda kemudian
ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.[4]
Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan
lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun
1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan
kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa
semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di
seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk
disekolahkan tanpa dibayar.
Masa pra-kemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa
dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh
kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau
setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu.
Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu
dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah
pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak
kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan
mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi
pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan
membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang
seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang
sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh
penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep
pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah
pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah
airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan
menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Selain
itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah,
bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak
menuntut kemerdekaan bangsanya.
2.
Pendidikan
Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di
masa pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya sebagai berikut.
1)
Terdapat
banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang
hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat
untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir
kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode
ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus
dihormati oleh murid.
2)
Penduduk
dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan
belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3)
Model
sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas
pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
4)
Di
sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara
sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang
politik.
5)
Kaum
elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata
tidak akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal
kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di
negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai
sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi
pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi
rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi
pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya
konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan
hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini
Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda
yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali
ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada
halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena
diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan
suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain,
serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat,
yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga
negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945
yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang
kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak
ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan
sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: “…sungguh
alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu
persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan
dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,” Dari perkataan Soekarno
itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang
sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan
pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat
alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca
Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan
pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo)
menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi,
dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU
No. 19/ 1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa
akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90% bangsa Indonesia berpendidikan SD.[5]
3.
Pendidikan
Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat
signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun,
yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada
masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa
memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak
menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman”
sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi
seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga
diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat
dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak
dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam
pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi
pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi
kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka
terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini
adalah sebagai berikut.
1)
Produk-produk
pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak
memanusiakan manusia).
2)
Lahirnya
kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistic.
3)
Hilangnya
kebebasan berpendapat. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto
mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia”. Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional
Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di
Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya
digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan (BP3K). Pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat
pengarus utamaan (mainstreaming) pancasila dan UUD 1945 dengan produknya
mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980
mulai timbul masalah pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah
“pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat
(kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link and match” sebagai
upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu.[6]
4.
Pendidikan
pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk
pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi
desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan belanja negara. “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada
pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat
dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem
pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi
sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model
“Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber
daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak
saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan
beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan
pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib
belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan
profesi terhormat lainnya.
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi
juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan
kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan
ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi
siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya,
guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari
dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.[7]
B.
Pengertian
Pendidikan
Dalam arti sederhana pendidikan
sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam berkembangnya,
istilah pendidikan atau paedagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar
ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang
dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau
mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[8]
Kingsley Price, mengemukakan bahwa
pendidikan ialah proses di mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan
dalam mengasuh anak-anak atau mengasuh orang-orang dewasa. Pendapat tersebut
mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengasuhan baik untuk
anak-anak ataupun orang dewasa, dimana pendapat tersebut masih mempunyai
anggapan bahwa pendidikan hanya merupakan proses pengajaran.[9]
Selanjutnya definisi pendidikan di
Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
No. 2 Tahun 2003 mengemukakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Definisi
yang dikemukakan dalam Undang-Undang ini dapat dikatakan sangat luas, karena
mencakup tidak hanya proses belajar, juga proses pembelajaran, dan memiliki
sasaran tidak hanya untuk pengembangan kepentingan individu semata-mata di dunia,
akan tetapi bagaimana individu tersebut dapat mencapai keseimbangan antara
kepentingan dunia dan akhirat. Pengertian pendidikan tersebut sejalan dengan
konsep pendidikan dalam Islam.
Pendidikan berasal Bahasa Arab dari
kata tarbiyah. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama,
kata raba yarbu yang berarti
bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya
yarba yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin,
menjaga, dan memelihara. Dengan demikian tarbiyah, yaitu pendidikan yang
menitikberatkan masalah pada pendidikan, pembentukan, dan pengembangan pribadi
serta pembentukan dan penggemblengan akhlak secara bertahap.[10]
Pakar-pakar pendidikan mendenfinisikan
pendidikan adalah sebagai berkut: Langveld Pendidikan adalah setiap usaha
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju
kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat Pengaruh itu datangnya dari orang
dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran
hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum
dewasa.
Menurut John Dewey, Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional kearah alam dan sesame manusia. Sedangkan menurut J.J Rousseau,
Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang ada pada masa kanak-kanak sampai
remaja yang nantinya akan dibutuhkan pada saat kita dewasa nanti.
Pendidikan menurut Carter V. Good adalah
seni, praktek, atau profesi mengajar.Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang
berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan
murid, dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani untuk yang di didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
C.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah suatu faktor
yang amat sangat penting di dalam pendidikan, karena tujuan merupakan arah yang
hendak dicapai atau hendak di tuju oelh pendidikan. Begitu juga dengan
penyelenggaraan pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dan sebuah tujuan yang
hendak di capainya. Hal ini dibuktikan dengan penyelengaraan pendidikan yang
dialami oleh bangsa indonsia.
Tujuan pendidikan yang berlaku pada
waktu Orde Lama berbeda dengan Orde Baru, demikian juga sejak dari orde baru
hingga sekarang, runusan tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan dan
pelita ke pelita sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kehidupan
masyarakat dan Negara Indonesia.
Adapun tujuan pendidikan di Negara
Indonesia yaitu sebagai berikut.
a.
Tujuan
Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan
tingkatan yang tinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau
Negara tentang cirri-ciri seseorang manusia yang dihasilkan proses pendidikan
atau manusia yang terdidik. Adapun yang di maksud dengan tujuan pendidikan
Nasional adalah tujuan umum yang hendak dicapai oleh seluruh bangsa Indonesia
dan merupakan rumusan kualifikasi terbentuknya setiap warga Negara yang
dicita-citakan bersama.
Tujuan pendidikan nasional secara
formal di Indonesia telah beberapa kali mengalami perumusan atau perubahan, dan
rumusan tujuan pendidikan nasional yang terakhir seperti disebutkan dalam
Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3 yang
berbunyi : Tujuan pendidikan nasional ialah berkembangnya poternsi peserta
didik agar menjadi manusia-manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perumusan tujuan pendidikan nasional
tersebut dapat memberikan arah yang jelas bagi setiap usaha pendidikan di
Indonesia. Untuk dapat menepati tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan
adanya lembaga-lembaga pendidikan yang masin-masing mempunyai tujuan
tersendiri, yang selaras dengan tujuan nasional. Oleh karena itu , setiap usaha
pendidikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan tujuan tersebut.[11]
b.
Tujuan
Institusional
Tujuan institusional adalah
perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuannya yang harus dimiliki
oleh setiap lembaga pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tugas
yang harus dipikul oelh setiap lembaga dalam rangka menghasilkan lulusan dengan
kemampuan dan keterampilan tertentu.
Sebagai subsistem pendidikan
nasional, tujuan institusional untuk setiap lembaga pendidikan tidak dapat
terlepas dan tujuan pendidikan nasional. Hal ini disebabkan setiap lembaga
pendidikan ingin menghasilkan lulusan yang akan menunjang tinggi martabat
bangsa dan negaranya, yang bertekad untuk mempertahankan falsafah Pancasila
sebagai dasar Negara, di samping kemampuan dan keterampilan tertentu sesuai
dengan ke khususan setiap lembaga.
Dengan demikian, perumusan tujuan
institusional dipengaruhi oleh tiga hal: Tujuan Pendidikan Nasional. Kekhususan
setiap lemabaga dan Tingkat usia peserta didik. Tujuan institusional itu
dicapai melalui pemberian barabagai pengalaman belajar kepada peserta didiknya.
c.
Tujuan
Kurikuler
Tujuan Kurikuler adalah tujuan yang
dirumuskan secara formal pada kegiatan kurikuler yang ada pada lembaga-lembaga
pendidikan. Tujuan kurikuler sifatnya lebih khusus jika dibandingkan dengan
tujuan institusional, tetapi tidak boleh menyimpang dan tujuan institusional.
Seperti misalnya, tujuan kurikulum di sekolah-sekolah ada mata pelajaran
kewarganegaraan yang berbeda dibandingkan dengan SMP.
Tujuan mata pelajaran untuk
kewarganegaraan di sekolah-sekolah tersebut disebut tujuan kurikuler sesuai
dengan kurikulum pada masing-masing sekolah. Tujuan kurikuler merupakan
penjabaran dan tujuan institusional, yang berarti lebih khusus dan pada tujuan
Institusional.
d.
Tujuan
Instruksional
Tujuan Instruksional merupakan
tujuan yang hendak dicapai setelah selesai proses belajar mengajar/program
pengajaran. Tujuan tersebut merupakan penjabaran dan tujuan kurikuler, yang
merupakan perubahan sikap atau tingkah laku secara jelas. Tujuan Instruksional
dapat dibagi menjadi dua, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan
Instruksional Khusus (TIK). Dalam merumuskan tujuan-tujuan instruksional ini
terlebih-lebih tujuan instruksional khusus berorientasi kepada peserta didik,
atau kepada output oriented. Tujuan instruksional akan mempengaruhi pemilihan
materi, metode, strategi, dan lainnya demi mencapai tujuan instruksional yang
telah dirumuskan.[12]
Sesuai dengan visi dan misi
pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan harus mencerminkan kemampuan sistem
pendidikan Nasional untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan peran yang multi
dimensional. Secara umum, pendidikan harus mampu mengahsilkan manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat, yang sehat dan cerdas dengan: Kepribadian yang
kuat, religious dan menjunjung tinggi budaya luhur, kesadaran demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kesadaran moral hokum yang
tinggi dan kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Tujuan
pendidikan merupakan komponen penting dan sangat menentukan bahkan merupakan
esensi dari pendidikan. Menurut Langeveld, membedakan tujuan pendidikan ada
enam macam, yaitu :
1. Tujuan
Umum
Tujuan
umum adalah tujuan yang akan dicapai diakhir proses pendidikan, yaitu
tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik.
2. Tujuan
Khusus
Tujuan
khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasarkan usia, jenis
kelamin, sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap
perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya.
3. Tujuan
Tidak Lengkap
Tujuan
tidak lengkap adalah tujuan yang menyangkut sebagian aspek manusia, misalnya
tujuan khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya.
Jadi tujuan tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang melengkapi
perkembangan seluruh aspek kepribadian.
4. Tujuan
Sementara
Proses
untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus, karenanya
perlu ditambah setingkat demi setingkat.
5. Tujuan
Intermedier
Tujuan
intermedier adalah tujuan yang berkaitan dengan penguasaan sesuatu pengetahuan
atau keterampilan demi tercapainya tujuan sementara. Misalnya, anak belajar
membaca, menulis, matematika dan sebagainya, dan anak dibiasakan untuk menyapu
halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggung jawab.[13]
6. Tujuan
Insidental
Tujuan
insidental adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya
seketika dan spontan. Misalnya, orangtua menegur anaknya agar berbicara sopan.[14]
Demikianlah
macam-macamnya tujuan pendidikan, yang kesemuanya mengarah kepada tujuan umum
pendidikan. Yaitu menuju kehidupan sebagai insan kamil, dimana terjamin adanya
hakikat manusia secara harmonis.
D.
Social
Demend Approach
Menurut
Vembrianto, Pendekatan kebutuhan sosial atau social demand
adalah suatu pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas
tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini
manusia dilihat secara kodrat adalah makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial manusia memiliki dorongan untuk hidup berkelompok dan
bermasyarakat.[15]
Pendekatan
social demand atau kebutuhan sosial atau tuntutan sosial adalah suatu
istilah yang kabur dan mengcaukan (jarang digunakan oleh pendidik) dan dapat
diartikan bermacam-macam. Arti yang paling umum digunakan adalah kumpulan
tuntuntan yang umum untuk memperoleh pendidikan, yakni jumlah dari tuntutan
individu akan pendidikan di suatu tempat, pada suatu waktu tertentu, di dalam
suatu budaya politik dan ekonomi tertentu.
Sedangkan
menurut A. W. Guruge, Pendekatan kebutuhan sosial adalah pendekatan tradisional
bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas
demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan
pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya
secara bebas.
Perencanaan
pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut
dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang
hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada
tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan
pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi
usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan
untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan
kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya
dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih
terbelakang, kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
Kelebihan
pendekatan social demand, ada beberapa kelebihan dalam penggunaan
pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Di antara sisi
positif dari pendekatan ini antara lain adalah pendekatan ini lebih cocok untuk
diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi
kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih
banyak yang buta huruf. Selain itu pendekatan ini akan lebih cepat dalam
memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga
masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan,
sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan
sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.
Kekurangan
pendekatan Social Demand ini antara lain adalah sebagai berikut.
1)
Pendekatan ini cenderung hanya untuk
menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan
kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besarnya, sehingga
mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan.
2)
Pendekatan ini lebih menekankan pada
aspek kualitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang
memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan. Oleh karena itu pendekatan
ini terkesan lebih boros.[16]
Tujuan
pendekatan Social Demand, pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara
berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan
pembebasan yang sangat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari rasa ketakutan,
dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai
tuntutan terhadap pendidikan merupakan tekanan keras bagi penyelenggara
pendidikan.
Dengan
melihat karakteristik tuntutan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan
ini lebih menekankan pemerataan kesempatan atu kuantitatif, dibandingkan dengan
aspek kualitatif. Karena itu pendidikan dasar merupakan prioritas utama yang
harus diberikan kepada setiap anak usis SD. Kewajiban belajar merupakan
manifestasi dari tuntutan sosial ini untuk membebaskan populasiusia sekolah
dari tuna aksara.
Pendekatan
seperti ini sukar diukur dan diteliti, kecuali untuk negara yang sudah
melaksanakan undang-undang kewajiban belajar serta mempunyai data lengkap atau
adanya kebijakan pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya semua hal yang
menyangkut pendidikan nasional, baik itu dasar dan tujuan pendidikan nasional
semuanya terangkum dalam UUSPN No. 2 Tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Tujuan pendidikan adalah upaya untuk
meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik
maka perlu adanya pemahaman terhadap dasar dan tujuan pendidikan secara
mendalam.
Kemudian,
perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para
ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau
tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih
menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu
terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk
membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian
layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari
penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan
sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi
masyarakat yang masih terbelakang, kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah
kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah
Perencanaan Program Pendidikan tentang latar belakang dan tujuan pendidikan ini. Namun,
dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia,
sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak
sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena
itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami
perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu
pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi ke arah yang
lebih baik dan semoga makalah kami ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir, dkk. 2012. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Ahmadi,
Abu dan Nur Uhbiyati. 2003. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewi,
Lestari. 2013. Perencanaan Pendidikan.
http://biologi-lestari.blogspot.co.id/2013/03/perencanaan-pendidikan.html. diakses pada
tanggal 27 September 2016 pukul 21.42.
Hakim,
Muhammad. 2013. Pendidikan di Indonesia
di Masa Orde Lama, Baru dan Reformasi. (http://muhammadhakim02.blogspot.co.id/2013/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html. diakses pada
tanggal 26 September 2016 pukul 22.22.
Hasbullah.
2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Kurniawati,
Nia. 2015. Sejarah Pendidikan Dunia dan
Indonesia. Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html. diakses pada
tanggal 26 September 2016 pukul 21.50.
Nugroho,
Rianti. 2008, Pendidikan Indonesia:
Harapan, Visi dan Strategi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pidarta,
Made. 2013. Landasan Kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Rusmaini.
2011. Ilmu Pendidikan. Palembang:
Grafika Telindo Press.
[1]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 110.
[2]Nia Kurniawati, Sejarah Pendidikan Dunia dan Indonesia,
(Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html, 2015), diakses
pada tanggal 26 September 2016 pukul 21.50.
[3]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 126.
[4]Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi dan
Strategi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 15.
[5]Muhammad Hakim, Pendidikan di Indonesia di Masa Orde Lama,
Baru dan Reformasi, (http://muhammadhakim02.blogspot.co.id/2013/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, 2013), diakses pada tanggal 26
September 2016 pukul 22.22.
[6]Nia Kurniawati, Sejarah Pendidikan Dunia dan Indonesia,
(Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html, 2015), diakses
pada tanggal 27 September 2016 pukul 22.32.
[7]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 144.
[8]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm 1.
[9]Rusmaini, Ilmu Pendidikan, (Palembang: Grafika Telindo Press, 2011), hlm 2.
[10]Ibid., hlm 3.
[11]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm
15.
[12]Ibid., hlm 16.
[13]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), hlm 105.
[14]Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana,
2012) , hlm 81.
[15]Rusmaini, Ilmu Pendidikan, (Palembang: Grafika Telindo Press, 2011), hlm 148.
[16]Lestari Dewi, Perencanaan Pendidikan, (http://biologi-lestari.blogspot.co.id/2013/03/perencanaan-pendidikan.html, 2013), diakses pada tanggal 27
September 2016 pukul 21.42.
Komentar
Posting Komentar