Makalah Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan, serta Social Demand Approach


BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Kata pendidik bagi awam atau pembaca umumnya langsung mengaitkan dengan masalah sekolah dalam arti pertemuan guru dan murid. Sehingga orang tua merasa berkewajiban untuk mendidik anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung lewat persekolahan.
Masalah dasar dan tujuan pendidikan adalah suatu masalah yang sangat fondamentil dalam pelaksanaan pendidikan. Sebab dari dasar pendidikan itu akan menentukan corak dan isi pendidikan. Dan dari tujuan pendidikan akan menentukan ke arah mana anak didik itu dibawa.
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Bukan saja sangat penting, bahkan masalah pendidikan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan di negara itu.   
Mengingat sangat pentingnya pendidikan itu bagi kehidupan bangsa dan negara, maka hampir seluruh negara di dunia ini menangani secara langsung masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam hal ini masing-masing negara itu menentukan sendiri dasar dan tujuan pendidikan di negaranya. Masing-masing bangsa mempunyai pandangan hidup sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan yang lain.
Demikian pula masing-masing orang mempunyai bermacam-macam tujuan pendidikan, yaitu melihat kepada cita-cita, kebutuhan dan keinginannya. Ada yang mengharapkan supaya anaknya kelak menjadi orang besar yang berjasa kepada nusa dan bangsa. Ada yang menginginkan supaya anaknya menjadi dokter, insinyur atau seorang ahli seni.
Semuanya itu tergantung kepada keinginan tiap-tiap orang untuk mengarahkan anaknya agar tercapai hajatnya itu.
Berhasil atau tidaknya keinginan tiap-tiap orang ada sangkut pautnya dengan bakat dan pembawaan dari tiap-tiap anak itu sendiri, yang harus diperhatikan oleh orang tuanya.   
Peningkatan mutu pendidikan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang bermutu dapat menunjang pembangunan disegala bidang. Oleh sebab itu, perlu adanya pemahaman tentang latar belakang dan tujuan pendidikan secara mendalam. Apabila kita telah memamahami latar belakang dan tujuan pendidikan, penulis yakin bahwa kita bisa memajukan pendidikan secara nasional. Tujuan pendidikan itupun akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Untuk itu maka kita harus benar benar memahami apa latar belakang dan tujuan pendidikan yang nantinya bisa dicapai.

B.           Permasalahan
1.      Bagaimana latar belakang pendidikan?
2.      Apa pengertian pendidikan?
3.      Apa tujuan pendidikan?
4.      Apa social demand approach?

C.          Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang pendidikan.
2.      Untuk mengetahui dan memahami dasar dan tujuan pendidikan.
3.      Untuk mengetahui dan memahami tujuan pendidikan.
4.      Untuk mengetahui dan memahami apa social demand approach.







BAB II
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PENDIDIKAN,
SERTA SOCIAL DEMAND APPROACH

Pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teori dan praktik yang berkembang dalam kehidupan. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana mencapai cita-citanya. Akan tetapi di balik itu, semakin tinggi cita-cita yang hendak diraih, maka semakin kompleks jiwa manusia itu, karena di dorong oleh tuntutan hidup yang meningkat pula.
Proses pendidikan tidak terlepas drai faktor psikologis, fisik manusia dan pengaruh faktor lingkungan. Proses pendidikan harus berpegang pada petunjuk-petunjuk para psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan dan psikologi agama. Dengan demikian proses pendidikan akan berlangsung secara sistematis dan terorganisir dengan baik.

A.          Latar Belakang Pendidikan
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini, termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budi daya manusia. Demikianlah ada sejarah candi, sejarah fosil, sejarah batu-batuan, sejarah perkembangan benua dan pulau, sejarah politik, sejarah suatu negara, sejarah ilmu, sejarah pendidikan, dan sebagainya.
Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya. Sejarah tentang candi Borobudur misalnya mengandung konsep tentang cara membuat candi itu, tujuan yang ingin dicapai, proses pembuatnya, dan hasil yang bisa dinikmati hingga saat ini.
Informasi-informasi tersebut di atas merupakan warisan generasi muda dan generasi pendahulunya yang tidak ternilai harganya. Generasi muda banyak belajar dari informasi ini. Belajar dalam arti memanfaatkan informasi ini dalam upaya memajukan diri. Bukan belajar hanya menerima dan bertahan dalam kebudayaanitu, melainkan kebudayaan itu dijadikan landasan dan bahan perbandingan untuk maju.
Demikian juga dalam bidang pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menangani bidang itu, terlebih dahulu memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat nasional maupun yang internasional. Dengan cara ini mereka tahu apa yang sudah dikerjakan oleh bangsanya dan hasil yang diperoleh, mereka juga bisa memeriksa apakah sudah cocok dengan keadaan/ tujuan pendidikan sekarang. Sebagai bahan tambahan, mereka juga mencari informasi pada sejarah pendidikan dunia.
Umur sejarah pendidikan dunia sedah panjang sekali. Mulai dari zaman Hellenisme tahun 150 SM - 500, ke zaman pertengahan tahun 500 – 1500, zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi pada tahun 1600-an.[1] Pendidikan pada zaman ini belum banyak memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang. Oleh sebab itu, pendidikan yang terjadi pada zaman ini tidak diuraikan.
Sejak awal sejarah, dambaan manusia untuk lebih mengetahui tentang diri dan alamnya, mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan ini menjadi pemacu terbentuknya pusat-pusat pembelajaran, perguruan dan universitas-universitas di dunia.
Kata universitas berasal dari bahasa Latin ‘universitas magistrorum et scholarium, yang kurang lebih berarti kumpulan para guru dan sarjana/ siswa ilmuwan (community of teachers and scholars). Ini mirip dengan istilah sanghrama. Sangha artinya “komunitas” dan arama artinya “tempat, akomodasi”.
Pusat-pusat pembelajaran tertua di dunia dimulai dengan terbentuknya berbagai institusi pembelajaran seperti di Ghandara, Takshasila pada abad ke-7 SM di Punjab, Pakistan, ‘Academy’ yang dipimpin oleh Plato di Yunani pada abad ke-4 SM, ‘Taixue’ pada abad ke-3 M di Cina, dan ‘Pandidakterion’ pada abad ke-5 SM di Konstantinopel, serta ‘Sanghrama Nalanda’ di India pada abad ke-5. Apa yang kita kenal sebagai pelopor universitas modern mulai terbentuk di Bologna pada abad ke-11 M, diikuti universitas-universitas lain seperti University of Paris, University of Oxford, University Of Cambridge pada abad ke-12 atau 13.
Pada dasarnya, yang diajarkan di universitas-universitas pada waktu itu adalah trivium (tatabahasa, dialektika dan logika), dan quadrivium (matematika, ilmu ukur, musik dan astronomi).[2]
Menurut catatan penjelajah yang datang ke Sriwijaya pada abad ke-7, di Nusantara ini telah mempunyai pusat belajar dengan mata pelajaran mencakup pancavidya, yaitu logika, tata bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian serta metafisika dan filsafat. Di abad ke-11, seorang terpelajar dari India, datang dan belajar di Sriwijaya, beliau akhirnya menjadi seorang cendekiawan terkemuka dan membawa pengaruh yang luar biasa terhadap sejarah pembelajaran di dunia, hingga hari ini.
Dengan demikian, jauh sebelum berdirinya universitas-universitas modern di dunia, Indonesia telah mempunyai pusat pembelajaran yang cukup “advanced,” terbukti dari banyaknya para pakar, terutama dari India dan Cina yang belajar dan mengajar di Sriwijaya, paling tidak selama abad ke-7 hingga abad ke-11 Masehi.

1.            Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pada waktu bangsa Indonesia berjuang merintis kemerdekaan, ada tiga tokoh pendidikan sekaligus pejuang kemerdekaan yang berjuang melalui pendidikan. Mereka membina anak-anak dan para pemuda melalui lembaganya masing-masing untuk mengembalikan harga diri dan martabatnya yang hilang akibat penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh pendidik itu adalah Mohamad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan.[3]
Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika Belanda mengakhiri politik “tanam paksa” menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda kemudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.[4]
Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar.
Masa pra-kemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.

2.            Pendidikan Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya sebagai berikut.
1)            Terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode ceramah ini,  karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus dihormati oleh murid.
2)            Penduduk dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3)            Model sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
4)            Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang politik.
5)            Kaum elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata tidak akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: “…sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,” Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/ 1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90% bangsa Indonesia berpendidikan SD.[5]

3.            Pendidikan Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah sebagai berikut.
1)            Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2)            Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistic.
3)            Hilangnya kebebasan berpendapat. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada  tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming) pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link and match” sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu.[6]

4.            Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan  profesi terhormat lainnya.
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.[7]
B.           Pengertian Pendidikan
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam berkembangnya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[8]
Kingsley Price, mengemukakan bahwa pendidikan ialah proses di mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengasuh orang-orang dewasa. Pendapat tersebut mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengasuhan baik untuk anak-anak ataupun orang dewasa, dimana pendapat tersebut masih mempunyai anggapan bahwa pendidikan hanya merupakan proses pengajaran.[9]
Selanjutnya definisi pendidikan di Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2003 mengemukakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Definisi yang dikemukakan dalam Undang-Undang ini dapat dikatakan sangat luas, karena mencakup tidak hanya proses belajar, juga proses pembelajaran, dan memiliki sasaran tidak hanya untuk pengembangan kepentingan individu semata-mata di dunia, akan tetapi bagaimana individu tersebut dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Pengertian pendidikan tersebut sejalan dengan konsep pendidikan dalam Islam.
Pendidikan berasal Bahasa Arab dari kata tarbiyah. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Dengan demikian tarbiyah, yaitu pendidikan yang menitikberatkan masalah pada pendidikan, pembentukan, dan pengembangan pribadi serta pembentukan dan penggemblengan akhlak secara bertahap.[10]
Pakar-pakar pendidikan mendenfinisikan pendidikan adalah sebagai berkut: Langveld Pendidikan adalah setiap usaha pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
Menurut John Dewey, Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesame manusia. Sedangkan menurut J.J Rousseau, Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang ada pada masa kanak-kanak sampai remaja yang nantinya akan dibutuhkan pada saat kita dewasa nanti.
Pendidikan menurut Carter V. Good adalah seni, praktek, atau profesi mengajar.Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid, dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani untuk yang di didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

C.          Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah suatu faktor yang amat sangat penting di dalam pendidikan, karena tujuan merupakan arah yang hendak dicapai atau hendak di tuju oelh pendidikan. Begitu juga dengan penyelenggaraan pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dan sebuah tujuan yang hendak di capainya. Hal ini dibuktikan dengan penyelengaraan pendidikan yang dialami oleh bangsa indonsia.
Tujuan pendidikan yang berlaku pada waktu Orde Lama berbeda dengan Orde Baru, demikian juga sejak dari orde baru hingga sekarang, runusan tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan dan pelita ke pelita sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia.
Adapun tujuan pendidikan di Negara Indonesia yaitu sebagai berikut.
a.             Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau Negara tentang cirri-ciri seseorang manusia yang dihasilkan proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Adapun yang di maksud dengan tujuan pendidikan Nasional adalah tujuan umum yang hendak dicapai oleh seluruh bangsa Indonesia dan merupakan rumusan kualifikasi terbentuknya setiap warga Negara yang dicita-citakan bersama.
Tujuan pendidikan nasional secara formal di Indonesia telah beberapa kali mengalami perumusan atau perubahan, dan rumusan tujuan pendidikan nasional yang terakhir seperti disebutkan dalam Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3 yang berbunyi : Tujuan pendidikan nasional ialah berkembangnya poternsi peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dapat memberikan arah yang jelas bagi setiap usaha pendidikan di Indonesia. Untuk dapat menepati tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan adanya lembaga-lembaga pendidikan  yang masin-masing mempunyai tujuan tersendiri, yang selaras dengan tujuan nasional. Oleh karena itu , setiap usaha pendidikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan tujuan tersebut.[11]



b.            Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuannya yang harus dimiliki oleh setiap lembaga pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tugas yang harus dipikul oelh setiap lembaga dalam rangka menghasilkan lulusan dengan kemampuan dan keterampilan tertentu.
Sebagai subsistem pendidikan nasional, tujuan institusional untuk setiap lembaga pendidikan tidak dapat terlepas dan tujuan pendidikan nasional. Hal ini disebabkan setiap lembaga pendidikan ingin menghasilkan lulusan yang akan menunjang tinggi martabat bangsa dan negaranya, yang bertekad untuk mempertahankan falsafah Pancasila sebagai dasar Negara, di samping kemampuan dan keterampilan tertentu sesuai dengan ke khususan setiap lembaga.
Dengan demikian, perumusan tujuan institusional dipengaruhi oleh tiga hal: Tujuan Pendidikan Nasional. Kekhususan setiap lemabaga dan Tingkat usia peserta didik. Tujuan institusional itu dicapai melalui pemberian barabagai pengalaman belajar kepada peserta didiknya.

c.             Tujuan Kurikuler 
Tujuan Kurikuler adalah tujuan yang dirumuskan secara formal pada kegiatan kurikuler yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler sifatnya lebih khusus jika dibandingkan dengan tujuan institusional, tetapi tidak boleh menyimpang dan tujuan institusional. Seperti misalnya, tujuan kurikulum di sekolah-sekolah ada mata pelajaran kewarganegaraan yang berbeda dibandingkan dengan SMP.
Tujuan mata pelajaran untuk kewarganegaraan di sekolah-sekolah tersebut disebut tujuan kurikuler sesuai dengan kurikulum pada masing-masing sekolah. Tujuan kurikuler merupakan penjabaran dan tujuan institusional, yang berarti lebih khusus dan pada tujuan Institusional.



d.            Tujuan Instruksional
Tujuan Instruksional merupakan tujuan yang hendak dicapai setelah selesai proses belajar mengajar/program pengajaran. Tujuan tersebut merupakan penjabaran dan tujuan kurikuler, yang merupakan perubahan sikap atau tingkah laku secara jelas. Tujuan Instruksional dapat dibagi menjadi dua, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Dalam merumuskan tujuan-tujuan instruksional ini terlebih-lebih tujuan instruksional khusus berorientasi kepada peserta didik, atau kepada output oriented. Tujuan instruksional akan mempengaruhi pemilihan materi, metode, strategi, dan lainnya demi mencapai tujuan instruksional yang telah dirumuskan.[12]
Sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan Nasional untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan peran yang multi dimensional. Secara umum, pendidikan harus mampu mengahsilkan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang sehat dan cerdas dengan: Kepribadian yang kuat, religious dan menjunjung tinggi budaya luhur, kesadaran demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kesadaran moral hokum yang tinggi dan kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Tujuan pendidikan merupakan komponen penting dan sangat menentukan bahkan merupakan esensi dari pendidikan. Menurut Langeveld, membedakan tujuan pendidikan ada enam macam, yaitu :
1.      Tujuan Umum
Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai diakhir proses pendidikan, yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik.
2.      Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasarkan usia, jenis kelamin, sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya.
3.      Tujuan Tidak Lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan yang menyangkut sebagian aspek manusia, misalnya tujuan khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya. Jadi tujuan tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang melengkapi perkembangan seluruh aspek kepribadian.
4.      Tujuan Sementara
Proses untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus, karenanya perlu ditambah setingkat demi setingkat.
5.      Tujuan Intermedier
Tujuan intermedier adalah tujuan yang berkaitan dengan penguasaan sesuatu pengetahuan atau keterampilan demi tercapainya tujuan sementara. Misalnya, anak belajar membaca, menulis, matematika dan sebagainya, dan anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggung jawab.[13]
6.      Tujuan Insidental
Tujuan insidental adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya seketika dan spontan. Misalnya, orangtua menegur anaknya agar berbicara sopan.[14]

Demikianlah macam-macamnya tujuan pendidikan, yang kesemuanya mengarah kepada tujuan umum pendidikan. Yaitu menuju kehidupan sebagai insan kamil, dimana terjamin adanya hakikat manusia secara harmonis.

D.          Social Demend Approach
Menurut Vembrianto, Pendekatan kebutuhan sosial atau social demand adalah suatu pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini manusia dilihat secara kodrat adalah makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia memiliki dorongan untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat.[15]
Pendekatan social demand atau kebutuhan sosial atau tuntutan sosial adalah suatu istilah yang kabur dan mengcaukan (jarang digunakan oleh pendidik) dan dapat diartikan bermacam-macam. Arti yang paling umum digunakan adalah kumpulan tuntuntan yang umum untuk memperoleh pendidikan, yakni jumlah dari tuntutan individu akan pendidikan di suatu tempat, pada suatu waktu tertentu, di dalam suatu budaya politik dan ekonomi tertentu.
Sedangkan menurut A. W. Guruge, Pendekatan kebutuhan sosial adalah pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya secara bebas.
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang, kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
Kelebihan pendekatan social demand, ada beberapa kelebihan dalam penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Di antara sisi positif dari pendekatan ini antara lain adalah pendekatan ini lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf. Selain itu pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.

Kekurangan pendekatan Social Demand ini antara lain adalah sebagai berikut.
1)            Pendekatan ini cenderung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan.
2)            Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kualitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan. Oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros.[16]

Tujuan pendekatan Social Demand, pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan pembebasan yang sangat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari rasa ketakutan, dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai tuntutan terhadap pendidikan merupakan tekanan keras bagi penyelenggara pendidikan.
Dengan melihat karakteristik tuntutan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan ini lebih menekankan pemerataan kesempatan atu kuantitatif, dibandingkan dengan aspek kualitatif. Karena itu pendidikan dasar merupakan prioritas utama yang harus diberikan kepada setiap anak usis SD. Kewajiban belajar merupakan manifestasi dari tuntutan sosial ini untuk membebaskan populasiusia sekolah dari tuna aksara.
Pendekatan seperti ini sukar diukur dan diteliti, kecuali untuk negara yang sudah melaksanakan undang-undang kewajiban belajar serta mempunyai data lengkap atau adanya kebijakan pemerintah.




























BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Pada dasarnya semua hal yang menyangkut pendidikan nasional, baik itu dasar dan tujuan pendidikan nasional semuanya terangkum dalam UUSPN No. 2 Tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan adalah upaya untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam.
Kemudian, perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang, kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.





B.           Kritik dan Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah Perencanaan Program Pendidikan tentang latar belakang dan tujuan pendidikan ini. Namun, dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi ke arah yang lebih baik dan semoga makalah kami ini bermanfaat bagi kita semua.




















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir, dkk. 2012. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Dewi, Lestari. 2013. Perencanaan Pendidikan. http://biologi-lestari.blogspot.co.id/2013/03/perencanaan-pendidikan.html. diakses pada tanggal 27 September 2016 pukul 21.42.

Hakim, Muhammad. 2013. Pendidikan di Indonesia di Masa Orde Lama, Baru dan Reformasi. (http://muhammadhakim02.blogspot.co.id/2013/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html. diakses pada tanggal 26 September 2016 pukul 22.22.

Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kurniawati, Nia. 2015. Sejarah Pendidikan Dunia dan Indonesia. Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html. diakses pada tanggal 26 September 2016 pukul 21.50.

Nugroho, Rianti. 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi dan Strategi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Rusmaini. 2011. Ilmu Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.


[1]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 110.
[2]Nia Kurniawati, Sejarah Pendidikan Dunia dan Indonesia, (Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html, 2015), diakses pada tanggal 26 September 2016 pukul 21.50.
[3]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 126.
[4]Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi dan Strategi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 15.
[5]Muhammad Hakim, Pendidikan di Indonesia di Masa Orde Lama, Baru dan Reformasi, (http://muhammadhakim02.blogspot.co.id/2013/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, 2013), diakses pada tanggal 26 September 2016 pukul 22.22.
[6]Nia Kurniawati, Sejarah Pendidikan Dunia dan Indonesia, (Jakarta: http://kurniawatinia95.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pendidikan-dunia-dan-indonesia.html, 2015), diakses pada tanggal 27 September 2016 pukul 22.32.

[7]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm 144.
[8]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm 1.
[9]Rusmaini, Ilmu Pendidikan, (Palembang: Grafika Telindo Press, 2011), hlm 2.
[10]Ibid., hlm 3.
[11]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm 15.
[12]Ibid., hlm 16.
[13]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 105.
[14]Abdul Kadir, dkk,  Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012) , hlm 81.
[15]Rusmaini, Ilmu Pendidikan, (Palembang: Grafika Telindo Press, 2011), hlm 148.
[16]Lestari Dewi, Perencanaan Pendidikan, (http://biologi-lestari.blogspot.co.id/2013/03/perencanaan-pendidikan.html, 2013), diakses pada tanggal 27 September 2016 pukul 21.42.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi

Makalah Supervisi Pendidikan