Makalah Ilmu Waris



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah dan puji syukur atas kehadirat Allah swt karena berkat limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa ridha dan kasih sayang serta petunjuk dari-Nya mustahil makalah ini dapat dirampungkan. Tak lupa pula kami haturkan shalawat beriring salam kepada nabi besar kita Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh dengan ilmu dan terang benderang ini.
Makalah ini disusun agar mempermudah proses pembelajaran Materi Fiqh MI. Dengan adanya makalah ini semoga bisa digunakan sebagai sarana untuk menimba ilmu dan belajar bersama.
Akhirnya, sesuai dengan kata pepatah “tiada gading yang tak retak”. Demikian juga dengan makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Kami mengharapkan saran dan kritik, khususnya dari teman-teman sangat kami harapkan. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allahlah yang punya.
Bersama makalah ini kelak Anda akan menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Selamat belajar, semoga Anda menjadi umat terbaik di mata sesama manusia, juga di mata Allah swt.

                                                                                          Palembang, Oktober 2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Rasulullah SAW. memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu waris, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagikan harta pusaka, sebagaimana sabda beliau:
pelajari Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajari ilmu faraidh serta ajarkan kepada orang-orang. Karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Daruqutniy)
Berdasarkan sabda diatas bahwa belajar dan mengajarkan ilmu waris adalah wajib, tetapi kategorinya wajib kifayah, yakni bila ada sebagian yang telah melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya.
Ilmu faraidh sangatlah penting untuk kita pelajari, karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama salaf dan khalaf sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka menghabiskan waktu untuk menelaah, mengerjakan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraidh, dan mengarang beberapa buku tentang faraidh. Karena sangat penting untuk dipelajari sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidh merupakan bagian ilmu-ilmu Qur’ani. 

B.            Permasalahan
1.        Apa yang dimaksud dengan ilmu waris?
2.        Bagaimana hukum mempelajari dan mengajarkannya?
3.        Apa saja rukun dan sebab pembagian waris?
4.        Apa saja halangan untuk menerima waris?
5.        Apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris?
6.        Siapa saja golongan ahli waris?

C.           Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui apa yang dimaksud dengan Ilmu Waris
2.        Mengetahui hukum mempelajari dan mengajarkannya
3.        Mengetahui apa saja rukun dan sebab pembagian waris
4.        Mengetahui apa saja halangan untuk menerima waris
5.        Mengetahui apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris
6.        Mengetahui siapa saja golongan ahli waris. 

BAB II
PEMBAHASAN
ILMU WARIS

A.           Pengertian Ilmu Waris
Waris adalah bentuk isim fa’il dari waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik. Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya.[1]
Warits adalah orang yang mewarisi. Muwarrits adalah orang yang memberikan waris (mayit). Al-Irts adalah harta warisan yang siap dibagi. Warasah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal.
Ilmu waris juga sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari fardh yaitu bagian yang ditentukan. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris.

B.            Hukum Mempelajari dan Mengajarkannya
Nabi Muhammad SAW berkata:
Pelajarilah Al-Faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya ilmu Faraidh itu separoh ilmu, dan iapun akan dilupakan, serta iapun ilmu yang pertama kali akan dicabut di kalangan ummatku.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutniy)
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.[2] Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya, pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya. Lebih-lebih orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan tidak berdasarkan hukum Allah SWT.

C.           Rukun dan Sebab Pembagian Waris
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Rukun pembagian waris ada tiga:
1.             Muwarrits, yaitu orang yang mewariskan hartanya atau mayit yang meninggalkan hartanya. Syaratnya adalah muwarrits benar-benar telah meninggal dunia.
Orang disebut “meninggal dunia” apabila nyawanya telah meninggalkan tubuh. Dalam ajaran Islam, meninggal dunia adalah masa istirahat untuk menjelang hidup yang abadi di akhirat nanti. Suatu masa hidup yang tidak berkesudahan.[3]
2.             Al-Warits atau ahli waris, yaitu orang-orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah atau sebab perkawinan.
3.             Al-Mauruts yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenazah dan pelunasan hutang.

Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu:
1.             Hubungan Kekerabatan (al-Qarabah)
Kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah hubungan yang dekat dengan muwarrits, seperti anak, cucu, bapak, ibu dan lain sebagainya. Atau kerabat jauh seperti paman, saudara sekandung, saudara seayah dan saudara seibu. Hubungan kerabat yang paling dekat dialah yang paling banyak mendapatkan harta muwarits. Hubungan kekerabatan ini tidak dibatasi untuk pihak laki-laki saja, tetapi juga pihak wanita sama-sama mendapatkan harta warisan.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan, yakni:
a.       Furu’ yaitu anak turunan si mayit.
b.      Ushul yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit.
c.  Hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping seperti saudara sekandung, seayah atau seibu.
Sedangkan ditinjau dari segi penerimaan bagian waris, mereka terbagi 4 golongan:
a.     Golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu. Golongan ini disebut dengan ashabu l-furudh nasabiyah yang jumlahnya 10 orang; ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
b.  Golongan kerabat yang tidak mendapat bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ashabu l-furudh atau mendapatkan seluruh peninggalan bila ternyata tidak ada ashaba l-furudh seorang pun. Golongan ini disebut dengan ashabah nasabiyah. Mereka itu adalah anak laki-laki, cucu laki-laki terus ke bawah, ayah, kakek terus ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah dan paman.
c.    Golangan kerabat yang mendapat dua macam bagian, yaitu fardh dan ushbah bersama-sama, yaitu ayah, jika ia mewarisi bersama anak perempuan dan kakek sama seperti posisi ayah.
d.   Golongan kerabat yang tidak terasuk ashabu l-furudh dan ashabah. Mereka ini disebut dengan dzawi l-arham. Mereka itu adalah cucu dari anak perempuan terus ke bawah, ayah dari ibu terus ke atas. Ibu dari ayahnya ibu.

2.             Hubungan Perkawinan (al-Musaharah)
Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Hak saling mewarisi itu selama hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung. Jika merek atelah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi. Tetapi jika istri tersebut dalam keadaan ditalak raj’i (yang masih memungkinkan untuk rujuk) selama masa iddah, suaminya meninggal dunia, maka istri tersebut berhak mendapatkan waris dari suaminya.
Ada beberapa faktor hubungan perkawinan menyebabkan hak waris mewarisi, sebagai berikut:
a.   Setiap pihak suami-istri menjadi penolong yang setia dalam mengemudikan bahtera hidup, memupuk pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
b.      Dalam beberapa hal sering terjadi bahwa seorang suami meninggal dunia, meninggalkan istri dalam keadaan melarat tidak ada yang menafkahi, pemberian waris kepada istri ini besar artinya sampai ada orang lain yang menafkahinya.
c.   Sebaliknya seorang istri meninggal dunia, meninggalkan suami, pemberian waris kepada suami sebagai bukti cinta dan kasih sayangnya istri yang telah mengorbankan hidup dan matinya untuk kepentingan suaminya.

3.             Hubungan Karena Sebab al-Wala’
Al-Wala’ berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak atau memerdekakannya.[4] Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala’ al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala’ al-mawlah dan muhalafah membebaskan budak karena kepemimpinan dan adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewakilkan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu melaksanakan anjuran syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala.
Adapun yang dapat mewarisi dengan sebab wala’ adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu, keduanya menjadi ‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs . sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan, niscaya wala’ tidak dapat mewarisi dari pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian, wala’ dapat mewarisi hanya dari satu sisi saja, yakni sisi orang yang memerdekakan budak.[5]

D.           Halangan Untuk Menerima Waris
Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah:
1.             Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak. Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hukum waris. Karena tujuan dari pembunuhan tersebut agar ia segera memiliki harta muwarrits.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun untuk mewarisi ” (HR. Al-Nasai)

2.             Beda Agama
Para ahli fiqh telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi anatara satu agama dengan syariat yang berbeda.
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.[6] Sebagaimana sabda Nabi SAW.
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari-Muslim)

3.             Perbudakan
Perbudakaan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinaju dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peningggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).

E.            Hak-Hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan Kepada Ahli Waris
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut:
1.             Biaya Perawatan Jenazah
Biaya perawatan yang diperlukan oleh orang-orang yang meninggal seperti biaya-biaya untuk memandikan, mengkafani, menghusung dan menguburkannya, semuanya itu ditanggung dari harta muwarrits secara tidak berlebih-lebihan atau terlalu dibatasi. Sebab jika berlebih-lebihan akan mengurangi hak ahli waris dan jika terlalu dibatasi akan mengurangi hak si mayit.

2.             Pelunasan Hutang
Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi. Hutang dapat diklarfikasi kepada dua macam, pertama, dainullah (hutang kepada Allah) seperti puasa dan zakat. Kedua, dainu l-‘ibad (hutang kepada manusia) semua hutang ini harus dibayarkan terlebih dahulu sebelum harta warsian dibagikan, sebagaimana firman Allah SWT.”
Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar hutang-hutangnya… ” (Q.S. An-Nisa [04]: 11)

3.             Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlaku apabila yang menyerahkan itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain. Wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya. Orang yang berhak menerima wasiat adalah bukan ahli waris. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya.” (HR. Daruqutniy)

Ahli waris berhak menerima wasiat, tetapi harus ada izin dengan ahli waris lain, karena akan mengurangu hak-hak mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah tidak boleh sama sekali berwasiat kepada ahli waris, sekalipun ahli waris lainnya mengizinkan.

F.            Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:[7]
1.      Dzu Fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam:
1)      ½ (setengah), adalah bagian untuk:
-          Anak perempuan apabila hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara.
-          Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), apabila hanya seorang diri.
-          Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja jika sendirian.
-          Suami, jika tidak ada anak.

2)      ¼ (seperempat), adalah bagian untuk:
-          Suami, jika ada anak.
-          Istri, baik hanya satu orang atau berbilang, jika tidak ada anak.

3)      1/8 (seperdelapan), adalah bagian untuk:
-          Istri, apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki (cucu).

4)      1/3 (sepertiga), adalah bagian untuk:
-          Ibu. Apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.
-          Dua saudara laki-laki atau perempuan seibu.

5)      2/3 (dua pertiga), adalah bagian untuk:
-          Dua orang anak perempuan (atau lebih), jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.
-          Dua cucu perempuan atau lebih.
-          Dua saudara perempuan yang seibu sebapak atau lebih.
-          Dua saudara perempuan yang sebapak atau lebih.

6)      1/6 (seperenam), adalah bagian untuk:
-          Ibu jika ada anak atau cucu.
-          Ayah jika ada anak atau cucu laki-laki.
-          Nenek jika tidak ada ibu.
-          Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika ada satu anak perempuan.
-          Saudara perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan sekandung.
-          Seorang saudara perempuan atau laki-laki seibu jika sendirian.
-          Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada.
Ahli waris yang mendapat bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin.

2.      ‘Ashabah
Ashabah ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian tersebut diatas.
Ahli waris ‘ashabah menerima pusaka salah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau menerima sisa pusaka. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, ia menerima seluruh pusaka, tetapi kalau ada dzu fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.
  
BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Ilmu waris juga sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris. Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.
Rukun pembagian waris ada tiga: Muwarrits, Al-Warits dan Al-Mauruts. Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu: Hubungan kekerabatan (al-Qarabah), hubungan perkawinan (al-Musaharah), hubungan karena sebab al-Wala’.
Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah: pembunuhan, beda agama, dan perbudakan.
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut: biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat.
Golongan Ahli Waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.             Dzu Fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam: ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (dua pertiga), dan 1/6 (seperenam).
2.             ‘Ashabah
Ashabah ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian tersebut diatas.


B.            Kritik dan Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah Materi Fiqh MI ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi ke arah yang lebih baik.
  
DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Karim, Abdul. 2006. Petunjuk Merawat Jenazah dan Shalat Jenazah. Jakarta: Amzah.

Muhadi, Dedy. 2013. Makalah Hukum Waris. http://deddyadyh.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-waris.html (diakses pada tanggal 17 Oktober 2013)

Rasjid, Sulaiman. 2011. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Rifai, Mohammad. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.

____ . Ilmu Fiqh 3. 1986. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta.

____ . Pengantar Hukum Islam. 1985. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta. 


[1]Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm 1.
[2]Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta, 1986), hlm 3.
[3]Abdul Karim, Petunjuk Merawat Jenazah dan Shalat Jenazah, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm 7.
[4]Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta, 1985), hlm 218.
[5]Dedy Muhadi, Makalah Hukum Waris, (2013) http://deddyadyh.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-waris.html (diakses pada tanggal 17 Oktober 2013)
[6]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm 352.
[7]Mohammad Rifai, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1978), hlm 518.

Komentar

  1. Assalamualaikum.. Ustadz. Boleh nanya.. Kapan untuk tugas apa makalah ini di buat

    BalasHapus
  2. Boleh minta nomer whatsapp nya. Ada yg mau saya tanyakan lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi

Makalah Supervisi Pendidikan

Makalah Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan, serta Social Demand Approach