Makalah Ilmu Waris
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah
dan puji syukur atas kehadirat Allah swt karena berkat limpahan rahmat-Nyalah
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa ridha dan kasih sayang serta petunjuk
dari-Nya mustahil makalah ini dapat dirampungkan. Tak lupa pula kami haturkan
shalawat beriring salam kepada nabi besar kita Nabi Muhammad saw yang telah
membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh dengan ilmu dan terang
benderang ini.
Makalah
ini disusun agar mempermudah proses pembelajaran Materi Fiqh MI. Dengan adanya makalah ini semoga bisa digunakan
sebagai sarana untuk menimba ilmu dan belajar bersama.
Akhirnya,
sesuai dengan kata pepatah “tiada gading
yang tak retak”. Demikian juga dengan makalah ini masih banyak kekurangan
disana-sini. Kami mengharapkan saran dan kritik, khususnya dari teman-teman
sangat kami harapkan. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allahlah yang punya.
Bersama
makalah ini kelak Anda akan menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.
Selamat belajar, semoga Anda menjadi umat terbaik di mata sesama manusia, juga
di mata Allah swt.
Palembang,
Oktober 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Rasulullah SAW. memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu
waris, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagikan harta
pusaka, sebagaimana sabda beliau:
“pelajari Al-Qur’an
dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajari ilmu faraidh serta ajarkan kepada
orang-orang. Karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu
itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang
pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup
memfatwakannya kepada mereka.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Daruqutniy)
Berdasarkan sabda diatas bahwa belajar dan mengajarkan ilmu
waris adalah wajib, tetapi kategorinya wajib kifayah, yakni bila ada sebagian
yang telah melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya.
Ilmu faraidh sangatlah penting untuk kita pelajari, karena
pentingnya ilmu faraidh, para ulama salaf dan khalaf sangat memperhatikan ilmu
ini, sehingga mereka menghabiskan waktu untuk menelaah, mengerjakan, menuliskan
kaidah-kaidah ilmu faraidh, dan mengarang beberapa buku tentang faraidh. Karena
sangat penting untuk dipelajari sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai
kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidh
merupakan bagian ilmu-ilmu Qur’ani.
B.
Permasalahan
1.
Apa
yang dimaksud dengan ilmu waris?
2.
Bagaimana hukum mempelajari dan mengajarkannya?
3.
Apa saja rukun dan sebab pembagian
waris?
4.
Apa saja halangan untuk menerima waris?
5.
Apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan
kepada ahli waris?
6.
Siapa
saja golongan ahli waris?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Ilmu Waris
2.
Mengetahui hukum mempelajari dan mengajarkannya
3.
Mengetahui apa saja rukun dan sebab
pembagian waris
4.
Mengetahui apa saja halangan untuk
menerima waris
5.
Mengetahui apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum
warisan dibagikan kepada ahli waris
6.
Mengetahui
siapa saja golongan ahli waris.
BAB II
PEMBAHASAN
ILMU WARIS
A.
Pengertian
Ilmu Waris
Waris adalah
bentuk isim fa’il dari waritsa, yaritsu,
irtsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata
itu berasal dari kata waritsa yang
bermakna perpindahan harta milik. Sehingga secara istilah ilmu waris adalah
ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka peninggalan mayit
kepada ahli warisnya.[1]
Warits
adalah
orang yang mewarisi. Muwarrits adalah
orang yang memberikan waris (mayit). Al-Irts
adalah harta warisan yang siap dibagi. Warasah
adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal.
Ilmu waris juga
sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari fardh yaitu bagian yang ditentukan.
Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah
ditentukan kepada ahli waris.
B.
Hukum
Mempelajari dan Mengajarkannya
Nabi Muhammad
SAW berkata:
“Pelajarilah Al-Faraidh dan ajarkanlah ia
kepada orang-orang. Sesungguhnya ilmu Faraidh itu separoh ilmu, dan iapun akan
dilupakan, serta iapun ilmu yang pertama kali akan dicabut di kalangan ummatku.”
(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutniy)
Hukum
mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh
sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.[2]
Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali akan
dicabut. Artinya, pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang
mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini
lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya. Lebih-lebih
orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan
tidak berdasarkan hukum Allah SWT.
C.
Rukun
dan Sebab Pembagian Waris
Ada beberapa
rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Rukun pembagian waris ada
tiga:
1.
Muwarrits,
yaitu
orang yang mewariskan hartanya atau mayit yang meninggalkan hartanya. Syaratnya
adalah muwarrits benar-benar telah
meninggal dunia.
Orang disebut
“meninggal dunia” apabila nyawanya telah meninggalkan tubuh. Dalam ajaran
Islam, meninggal dunia adalah masa istirahat untuk menjelang hidup yang abadi
di akhirat nanti. Suatu masa hidup yang tidak berkesudahan.[3]
2.
Al-Warits
atau
ahli waris, yaitu orang-orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik karena hubungan darah atau sebab perkawinan.
3.
Al-Mauruts
yaitu
harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenazah dan
pelunasan hutang.
Adapun kriteria
seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu:
1.
Hubungan
Kekerabatan (al-Qarabah)
Kekerabatan
menjadi sebab mewarisi adalah hubungan yang dekat dengan muwarrits, seperti anak, cucu, bapak, ibu dan lain sebagainya. Atau
kerabat jauh seperti paman, saudara sekandung, saudara seayah dan saudara
seibu. Hubungan kerabat yang paling dekat dialah yang paling banyak mendapatkan
harta muwarits. Hubungan kekerabatan
ini tidak dibatasi untuk pihak laki-laki saja, tetapi juga pihak wanita
sama-sama mendapatkan harta warisan.
Ditinjau dari
garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi,
kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan, yakni:
a. Furu’ yaitu
anak turunan si mayit.
b. Ushul yaitu
leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit.
c. Hawasyi yaitu
keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping seperti
saudara sekandung, seayah atau seibu.
Sedangkan
ditinjau dari segi penerimaan bagian waris, mereka terbagi 4 golongan:
a. Golongan
kerabat yang mendapat bagian tertentu. Golongan ini disebut dengan ashabu l-furudh nasabiyah yang jumlahnya
10 orang; ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara
perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
b. Golongan
kerabat yang tidak mendapat bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ashabu l-furudh atau mendapatkan seluruh
peninggalan bila ternyata tidak ada ashaba
l-furudh seorang pun. Golongan ini disebut dengan ashabah nasabiyah. Mereka itu adalah anak laki-laki, cucu laki-laki
terus ke bawah, ayah, kakek terus ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara
laki-laki seayah dan paman.
c. Golangan
kerabat yang mendapat dua macam bagian, yaitu fardh dan ushbah
bersama-sama, yaitu ayah, jika ia mewarisi bersama anak perempuan dan kakek
sama seperti posisi ayah.
d. Golongan
kerabat yang tidak terasuk ashabu
l-furudh dan ashabah. Mereka ini
disebut dengan dzawi l-arham. Mereka
itu adalah cucu dari anak perempuan terus ke bawah, ayah dari ibu terus ke
atas. Ibu dari ayahnya ibu.
2.
Hubungan
Perkawinan (al-Musaharah)
Perkawinan yang
sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri.
Hak saling mewarisi itu selama hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung.
Jika merek atelah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi. Tetapi
jika istri tersebut dalam keadaan ditalak raj’i
(yang masih memungkinkan untuk rujuk) selama masa iddah, suaminya meninggal
dunia, maka istri tersebut berhak mendapatkan waris dari suaminya.
Ada beberapa
faktor hubungan perkawinan menyebabkan hak waris mewarisi, sebagai berikut:
a. Setiap
pihak suami-istri menjadi penolong yang setia dalam mengemudikan bahtera hidup,
memupuk pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
b. Dalam
beberapa hal sering terjadi bahwa seorang suami meninggal dunia, meninggalkan
istri dalam keadaan melarat tidak ada yang menafkahi, pemberian waris kepada
istri ini besar artinya sampai ada orang lain yang menafkahinya.
c. Sebaliknya
seorang istri meninggal dunia, meninggalkan suami, pemberian waris kepada suami
sebagai bukti cinta dan kasih sayangnya istri yang telah mengorbankan hidup dan
matinya untuk kepentingan suaminya.
3.
Hubungan
Karena Sebab al-Wala’
Al-Wala’ berarti tetapnya hukum syara’ karena
membebaskan budak atau memerdekakannya.[4]
Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala’ al-ataqah,
yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala’
al-mawlah dan muhalafah membebaskan budak karena kepemimpinan dan
adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam
sebab-sebab pewarisan.
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah.
Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya
dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewakilkan dan hak mengurusi
harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu
melaksanakan anjuran syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam
hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala.
Adapun yang dapat mewarisi dengan sebab wala’ adalah
pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan
budak. Lalu, keduanya menjadi ‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs .
sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi. Tanpa budak yang
dibebaskan, niscaya wala’ tidak dapat mewarisi dari pembebasan budak
atau tuannya. Dengan demikian, wala’ dapat mewarisi hanya dari satu sisi
saja, yakni sisi orang yang memerdekakan budak.[5]
D.
Halangan
Untuk Menerima Waris
Halangan untuk
menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari
mendapatkan harta peninggalan muwarrits.
Adapun halangan tersebut adalah:
1.
Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang
lain secara langsung atau tidak. Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa
pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hukum waris. Karena tujuan
dari pembunuhan tersebut agar ia segera memiliki harta muwarrits.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:
“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun
untuk mewarisi ” (HR. Al-Nasai)
2.
Beda
Agama
Para ahli fiqh telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama
antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu
penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi anatara
satu agama dengan syariat yang berbeda.
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk
mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi
orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.[6]
Sebagaimana sabda Nabi SAW.
“Orang Islam tidak dapat mewarisi
harta orang harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang Islam.”
(HR. Bukhari-Muslim)
3.
Perbudakan
Perbudakaan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi
ditinaju dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta
peningggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli
warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya,
niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut
merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
E.
Hak-Hak yang Wajib Ditunaikan
Sebelum Warisan Dibagikan Kepada Ahli Waris
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan
sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut:
1.
Biaya Perawatan Jenazah
Biaya perawatan yang diperlukan oleh
orang-orang yang meninggal seperti biaya-biaya untuk memandikan, mengkafani,
menghusung dan menguburkannya, semuanya itu ditanggung dari harta muwarrits secara tidak berlebih-lebihan
atau terlalu dibatasi. Sebab jika berlebih-lebihan akan mengurangi hak ahli
waris dan jika terlalu dibatasi akan mengurangi hak si mayit.
2.
Pelunasan Hutang
Hutang adalah suatu tanggungan yang
wajib dilunasi. Hutang dapat diklarfikasi kepada dua macam, pertama, dainullah (hutang kepada Allah)
seperti puasa dan zakat. Kedua, dainu
l-‘ibad (hutang kepada manusia) semua hutang ini harus dibayarkan terlebih
dahulu sebelum harta warsian dibagikan, sebagaimana firman Allah SWT.”
“Setelah
diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar
hutang-hutangnya… ” (Q.S. An-Nisa [04]: 11)
3.
Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang
menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlaku apabila yang
menyerahkan itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang semasa hidupnya
berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain.
Wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya.
Orang yang berhak menerima wasiat adalah bukan ahli waris. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.:
“Tidak
ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila
ahli waris lain membolehkannya.” (HR. Daruqutniy)
Ahli waris berhak menerima wasiat,
tetapi harus ada izin dengan ahli waris lain, karena akan mengurangu hak-hak
mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah tidak boleh sama
sekali berwasiat kepada ahli waris, sekalipun ahli waris lainnya mengizinkan.
F.
Golongan Ahli Waris
Ahli
waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:[7]
1. Dzu
Fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian
tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam:
1)
½ (setengah), adalah bagian untuk:
-
Anak
perempuan apabila hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara.
-
Anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), apabila hanya seorang diri.
-
Saudara
perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja jika sendirian.
-
Suami,
jika tidak ada anak.
2)
¼ (seperempat), adalah bagian untuk:
-
Suami,
jika ada anak.
-
Istri,
baik hanya satu orang atau berbilang, jika tidak ada anak.
3)
1/8 (seperdelapan), adalah bagian
untuk:
-
Istri,
apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki (cucu).
4)
1/3 (sepertiga), adalah bagian
untuk:
-
Ibu.
Apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.
-
Dua
saudara laki-laki atau perempuan seibu.
5)
2/3 (dua pertiga), adalah bagian
untuk:
-
Dua
orang anak perempuan (atau lebih), jika mereka tidak mempunyai saudara
laki-laki.
-
Dua
cucu perempuan atau lebih.
-
Dua
saudara perempuan yang seibu sebapak atau lebih.
-
Dua
saudara perempuan yang sebapak atau lebih.
6)
1/6 (seperenam), adalah bagian
untuk:
-
Ibu
jika ada anak atau cucu.
-
Ayah
jika ada anak atau cucu laki-laki.
-
Nenek
jika tidak ada ibu.
-
Cucu
perempuan dari anak laki-laki, jika ada satu anak perempuan.
-
Saudara
perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan sekandung.
-
Seorang
saudara perempuan atau laki-laki seibu jika sendirian.
-
Kakek
(bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki,
sedangkan bapak tidak ada.
Ahli waris
yang mendapat bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli
waris dzu fardlin.
2. ‘Ashabah
‘Ashabah ialah
orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah
satu enam macam pembagian tersebut diatas.
Ahli waris ‘ashabah
menerima pusaka salah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau
menerima sisa pusaka. Jika ahli waris dzu
fardlin tidak ada, ia menerima seluruh pusaka, tetapi kalau ada dzu fardlin ia menerima sisa pusaka
setelah ahli waris dzu fardlin
mengambil bagiannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu waris juga
sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang
membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris. Hukum
mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh
sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.
Rukun pembagian
waris ada tiga: Muwarrits, Al-Warits dan Al-Mauruts. Adapun kriteria seseorang
menerima waris ada tiga hal, yaitu: Hubungan kekerabatan (al-Qarabah), hubungan perkawinan (al-Musaharah), hubungan karena sebab al-Wala’.
Halangan untuk
menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari
mendapatkan harta peninggalan muwarrits.
Adapun halangan tersebut adalah: pembunuhan, beda agama, dan perbudakan.
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan
dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut: biaya perawatan jenazah,
pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat.
Golongan Ahli Waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Dzu Fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian
tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam: ½ (setengah), ¼
(seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (dua pertiga), dan 1/6
(seperenam).
2.
‘Ashabah
‘Ashabah ialah orang yang berhak mendapat
pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian
tersebut diatas.
B.
Kritik
dan Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa
syukur kami atas selesainya makalah Materi
Fiqh MI ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena
kami sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat
kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya sangat mempengaruhi terhadap
kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun
dari pembaca sangat kami perlukan guna penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan
dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus
termotivasi ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiyallah.
2007. Belajar Mudah Ilmu Waris.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Karim,
Abdul. 2006. Petunjuk Merawat Jenazah dan
Shalat Jenazah. Jakarta: Amzah.
Muhadi,
Dedy. 2013. Makalah Hukum Waris. http://deddyadyh.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-waris.html
(diakses pada tanggal 17 Oktober 2013)
Rasjid,
Sulaiman. 2011. Fiqh Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Rifai,
Mohammad. 1978. Fiqih Islam Lengkap.
Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.
____ . Ilmu Fiqh 3.
1986. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di
Jakarta.
____ . Pengantar
Hukum Islam. 1985. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan
Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta.
[1]Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm 1.
[2]Ilmu
Fiqh 3,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di
Jakarta, 1986), hlm 3.
[3]Abdul Karim, Petunjuk Merawat Jenazah dan Shalat Jenazah, (Jakarta: Amzah,
2006), hlm 7.
[4]Pengantar
Hukum Islam,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di
Jakarta, 1985), hlm 218.
[5]Dedy Muhadi, Makalah Hukum Waris, (2013) http://deddyadyh.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-waris.html (diakses pada tanggal 17 Oktober
2013)
[6]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011), hlm 352.
[7]Mohammad Rifai, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya
Toha Putra Semarang, 1978), hlm 518.
Assalamualaikum.. Ustadz. Boleh nanya.. Kapan untuk tugas apa makalah ini di buat
BalasHapusBoleh minta nomer whatsapp nya. Ada yg mau saya tanyakan lagi
BalasHapus