Makalah Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbicara mengenai perilaku organisasi berarti
membahas tentang perilaku manusia. Manusia adalah pendukung utama setiap
organisasi apapun bentuknya. Perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok
atau organisasi adalah awal dari perilaku organisasi itu. Kelompok merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Tiap hari manusia akan terlibat dalam aktivitas kelompok. Demikian
pula kelompok merupakan bagian dari kehidupan organisasi. Pada umumnya manusia yang menjadi anggota dari suatu organisasi besar atau
kecil adalah sangat kuat kecenderungannya untuk mencari keakraban dalam
kelompok-kelompok tertentu. Dimulai dari adanya kesamaan tugas pekerjaan yang
dilakukan, kedekatan tempat kerja, seringnya berjumpa, adanya kesamaan kesenangan
bersama, maka timbullah kedekatan satu sama lain. Mulailah mereka berkelompok dalam organisasi.
Perilaku di dalam organisasi berasal dari dua
sumber yaitu individu dan kelompok. Perilaku kelompok adalah semua kegiatan
yang dilakukan dua atau lebih manusia yang berinteraksi dan saling mempengaruhi
dan saling bergantung untuk menghasilkan prestasi yang positif baik untuk
jangka panjang dan pertumbuhan diri.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya.
Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok
manusia lainnya. Karena hal itu dikatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial
karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain. Hal-hal
yang dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk pekerjaan yang diinginkan
merupakan unsur sebuah budaya. Maka, aspek sosial ditinjau dari hubungan
antarindividu, antar masyarakat serta aspek budaya ditinjau dari proses
pendidikan manusia tersebut melalui materi yang di pelajari, cara belajarnya,
bagaimana gaya belajarnya, bentuk- bentuk belajar serta pengajaranya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh
tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul
interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang
dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap berkesinambungan di semua
lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat) unsur sosial
merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir. Langeveld mengatakan
“setiap bayi yang lahir dikaruani potensi sosialitas atau kemampuan untuk
bergaul, saling berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling
memberi dan saling menerima”. Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan
sehari-hari, saat terjadi interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang
lain atau individu dengan kelompok, serta antar kelompok.
Berbicara tentang pendidikan tentunya tidak hanya sebatas proses yang
terjadi di dalam lembaga sekolah semata, tetapi dalam skala yang lebih luas
sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai
proses pemberdayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui
apabila kita menempatkannya dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat.
Pendidikan dalam konteks di atas (kebudayaan) meliputi masalah-masalah yang
pelik seperti konsep kekuasaan (power). Sebab, pada hakikatnya
kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, yang berati
hakikatnya juga mempertahankan kekuasaan tertentu.
Dengan kondisi yang demikian, ketika pendidikan sudah menjadi bagian dari
kepentingan kekuasaan, maka tujuan dari pendidikan pun akan menjadi tidak
jelas, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti layangan putus, yang tidak tahu
kemana arah angin akan membawanya, jangankan ingin memberi angin segar bagi
keberlangsungan suatu bangsa, pendidikan yang demikian justru hanya akan
menjadi agen kepentingan elit politik, yang pada gilirannya tidak mustahil
menjadi bom yang siap memporakporandakan bangsa ini. Oleh karenanya, pendidikan
sebagai bentuk pelaksanaan konsep kekuasaan Negara perlu dirumuskan peranannya
agar terdapat keseimbangan antara kebebasan individu serta keterikatan individu
sebagai warga negara dalam wadah persatuan Indonesia. Sebab, proses pendidikan
yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta
didik kesadaran akan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk
menjadi individu.
Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan menjelaskan tentang perilaku
individu dan kelompok dalam organisasi serta kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan.
B. Permasalahan
1. Bagaimana perilaku individu dalam oganisasi?
2. Bagaimana perilaku kelompok dalam organisasi?
3. Bagaimana perilaku organisasi yang dapat diperankan kepala sekolah
sebagai pimpinan pendidikan?
4. Bagaimana kekuasaan dan politik dalam lembaga pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami perilaku individu dalam organisasi.
2. Untuk mengetahui dan memahami perilaku kelompok dalam organisasi.
3. Untuk mengetahui dan memahami perilaku organisasi yang dapat diperankan
kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan.
4. Untuk
mengetahui dan memahami kekuasaan dan politik
dalam lembaga pendidikan.
BAB
II
PERILAKU INDIVIDU DAN
KELOMPOK DALAM ORGANISASI SERTA KEKUASAAN DAN POLITIK DALAM
LEMBAGA PENDIDIKAN
1.
Perilaku
Individu dalam Organisasi
A.
Pengertian
Perilaku Individu
Menurut kamus
bahasa Indonesia, individu adalah pribadi orang, seorang, organisme yang
hidupnya sendiri.[1]
Sedangkan perilaku adalah tingkah laku, tanggapan seseorang terhadap
lingkungan. Jadi, Perilaku individu adalah perilaku seseorang sehari-hari di
dalam kehidupannya. Faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah
kepribadian, persepsi, sikap, kemampuan dan keterampilan, latar belakang
keluarga, biografis, pengalaman dan kapasitas belajar.
Organisasi
adalah sistem kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.[2]
Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu mempunyai
karakteristik pula. Adapun karakteristik yang dipunyai organisasi antaranya
keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan,
tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system),
sistem pengendalian dan lain sebagainya.
Perilaku
individu dalam organisasi adalah bentuk interaksi antara karakteristik individu
dengan karakteristik organisasi. Setiap individu dalam organisasi, semuanya
akan berperilaku berbeda satu sama lain, dan perilakunya adalah ditentukan oleh
masing-masing lingkungannya yang memang berbeda.
Perilaku
individu juga dapat dipahami dengan mempelajari karakteristik individu. Menurut
Nimran, karakteristik yang melekat pada individu terdiri dari ciri-ciri
biografis, kepribadian, kemampuan, persepsi dan sikap. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing karakteristik tersebut.
1)
Ciri-ciri biografis, yaitu ciri
-ciri yang melekat pada individu. Antara lain.
a. Umur
b. Jenis
kelamin
c. Status
perkawinan
d. Jumlah atau banyaknya tanggungan
e. Masa kerja
2)
Kepribadian
kepribadian sebagai pengorganisasian
yang dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian
diri dengan lingkungannya” dia menambahkan bahwa kepribadian sebagai
keseluruhan cara bagaimana individu beraksi dan berinteraksi dengan orang lain.
3)
Kemampuan
Kemampuan adalah kapasitas seseorang
untuk melaksanakan beberapa kegiatan dalam satu pekerjaan. Kategori kemampuan
dikelompokkan menjadi dua yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
4)
Persepsi
Persepsi
sebagai suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan, dan menafsirkan
stimulus lingkungan. Dia menambahkan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi
persepsi.
5)
Sikap (Attitude)
Sikap merupakan suatu kesiapan
mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan padasituasi yang tepat.[3]
Sikap merupakan satu faktor yang harus dipahami agar dapat memahami perilaku
orang lain. Dengan saling memahami individu maka organisasi akan dapat dikelola
dengan baik.
B.
Memahami Perilaku Manusia
Menurut
Thoha, perbedaan perilaku manusia beberapa aspek mendasar sebagai berikut:
1.
Manusia berbeda perilakunya karena
kemampuannya tidak sama. Berbagai pendapat menjelaskan penyebab perbedaan ini
seperti ada yang beranggapan karena disebabkan sejak lahir manusia ditakdirkan
tidak sama kemampuannya, ada yang mengatakan karena perbedaan dalam kemampuan
menyerap informasi dari suatu gejala, ada yang beranggapan karena kombinasi
diantara keduanya.[4]
2.
Manusia mempunyai kebutuhan yang
berbeda. Perilaku umumnya didorong oleh serangkaian kebutuhan, yaitu beberapa
pernyataan dalam diri seseorang (internal state) yang menyebabkan
seseorang itu berbuat untuk mencapainya sebagai objek atau hasil. Orang
berpikir tentang masa depan, dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak.
C.
Kinerja Individu
Perilaku
individu dapat dipengaruhi oleh effort (usaha), ability (kemampuan)
dan situasi lingkungan.
1.
Effort
Usaha individu diwujudkan dalam
bentuk motivasi. Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif
menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah
lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.[5]
2.
Ability
Ability seorang
individu diwujudkan dalam bentuk kompeten. Individu yang kompeten memiliki
pengetahuan dan keahlian. Sejak dilahirkan setiap individu dianugerahi Tuhan
dengan bakat dan kemampuan. Bakat adalah kecerdasan alami yang bersifat bawaan.
Kemampuan adalah kecerdasan individu yang diperoleh malalui belajar.
2.
Perilaku Kelompok dalam Organisasi
A. Pengertian Perilaku Kelompok
Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara
individu dengan lingkungannya.[6] Sedangkan kelompok merupakan dua individu atau lebih yang berinteraksi dan
saling bergantung, bergabung untuk mencapai sasaran tertentu. Perilaku adalah semua yang dilakukan seseorang. Bentuk perilaku seseorang
adalah semua yang aktifitas, perbuatan dan penampilan diri sepanjang hidupnya.
Bentuk perilaku manusia adalah aktifitas individu dengan relasinya dalam
lingkungannya.
Jadi,
definisi dari pengertian perilaku kelompok adalah suatu aktifitas yang
dilakukakan oleh seorang individu dengan yang lainnya untuk mendapatkan
aspirasi anggota, berinteraksi dari setiap individu dan saling bergabung untuk
mencapai sasaran yang diinginkan.
B. Bentuk-bentuk Kelompok
Kelompok dapat berbentuk kelompok formal (formal group), ataupun merupakan kelompok
informal (informal group). Kelompok formal dibentuk organisasi, sedangkan kelompok informal dibentuk
oleh sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan
bersama.
Kelompok formal (formal group) dapat diartikan sebagai kelompok yang
diciptakan oleh keputusan manajerial untuk mencapai tujuan organisasi. Kelompok
ini terdiri dari kelompok komando dan kelompok tugas. Kelompok komando (command
group) yaitu adanya rantai komando dari pimpinan ke yang dipimpin, maka
perintah pemimpin haruslah dikerjakan. Sedangkan kelompok tugas (task group)
bersifat komunal dan kebersamaan dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama.[7] Kelompok informal (informal group) terbentuk secara alamiah dalam
lingkungan kerja yang muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan akan kontak
sosial. Tipe interaksi diantara individu secara informal sangat mempengaruhi
perilaku dan kinerja mereka.
Kelompok informal dibagi menjadi dua, yaitu kelompok minat dan kelompok
persahabatan. Kelompok minat (interest group) yaitu beberapa individu
sengaja berkelompok karena mempunyai kesamaan minat dan kepentingan. Sedangkan
kelompok persahabatan (friendship group) yaitu beberapa individu
berkelompok karena terdapat kecocokan dan itu menimbulkan kesenangan dan
kegembiraan sehingga mendorong orang untuk mengulangi dengan membuat kelompok.
C. Tahap-tahap Perkembangan Kelompok
Pengembangan kelompok bisa berjalan dalam dua arah positif dan negatif. Kita mempelajari perilaku kelompok ini dengan
tujuan untuk dapat mengembangkan kelompok ke arah yang positif dan menghindari arah
pengembangan yang negatif.[8]
Pengembangan kelompok juga dalam mendirikan dan membesarkan kelompok, ada lima tahap pengembangan yang dikemukakan oleh Bruce W. Tuckman, dalam jurnal Pycological
Bulletin, June 1965, yaitu:
a.
Tahap Forming (pembentukan)
b.
Tahap Storming (keributan)
c.
Tahap Norming (pengaturan
norma)
d.
Tahap Performing
(melaksanakan)
e.
Tahap Adjourning
(pengakhiran)
3.
Perilaku Organisasi Pendidikan
A.
Tujuan dan
Fokus Perilaku Organisasi
Tujuan
kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Kajian perilaku organisasi
berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok.
Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena
membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu
mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran
kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi
kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor
penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan
akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu
melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam
organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Dalam bidang
manajemen pendidikan, kajian tentang perilaku organisasi telah lama menjadi
perhatian para pakar terutama karena organisasi pendidikan dicirikan oleh
keterlibatan sejumlah besar manusia, mulai dari tenaga kependidikan, pendidik,
siswa, orangtua dan masyarakat. Dengan kompleksitas itu pemahaman terhadap ilmu
perilaku organisasi merupakan suatu hal yang penting khususnya bagi pengelola
dalam meningkatkan kinerja organisasi pendidikan.
Perilaku
organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi, yaitu
individu, kelompok, dan struktur atau organisasi. Singkatnya, perilaku
organisasi merupakan kajian terhadap apa yang dilakukan orang dalam organisasi
dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi tersebut.
B. Pendekatan Antardisiplin dalam
Perilaku Organisasi
Menurut Robbins,
perilaku organisasi merupakan ilmu terapan yang dibangun dengan dukungan
sejumlah disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial,
antropologi, dan ilmu politik. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang
berusaha mengukur, menjelaskan, dan mengubah perilaku manusia. Sumbangan terpenting dari ilmu psikologi terhadap perilaku organisasi
adalah kajian tentang pembelajaran, motivasi, kepribadian, persepsi, pelatihan,
keefektifan kepemimpinan, kepuasan kerja, pengambilan keputusan individu,
penilaian kinerja, pengukuran sikap, seleksi karyawan, disain kerja, dan stres
kerja. Sumbangan terpenting psikologi terhadap perilaku organisasi terutama
berkaitan dengan tiga hal, yaitu motivasi, keefektifan kepemimpinan, dan stres
kerja. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang menggerakkan
individu.
Dalam bidang
pendidikan, motivasi menjadi kajian yang lebih kompleks lagi karena berkaitan
dengan beragamnya status manusia di dalamnya seperti guru, siswa, kepala
sekolah, dan personil lainnya.
C. Efektifitas
Kepemimpinan
Efektifitas
kepemimpinan menjadi salah satu tanggung jawab perilaku organisasi.
Kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang untuk menggerakkan orang
lain dengan memimpin, membimbing, memengaruhi orang lain, untuk melakukan
sesuatu agar dicapai hasil yang diharapkan.[9]
Kata “sadar”
menunjukkan bahwa kepemimpinan didasarkan oleh kerelaan dan bukan paksaan. Hal ini
berbeda dengan kekuasaan yang diterima sebagai suatu keterpaksaan. Pengakuan
terhadap pentingnya variabel kepemimpinan dalam organisasi telah menjadi dasar
analisis para ahli dari berbagai kalangan. Dari analisis itu terungkap
pentingnya strategi kepemimpinan yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perilaku
kepemimpinan yang efektif. Teori kepemimpinan perilaku yang sudah lama dikenal
misalnya, memandang kepemimpinan yang efektif (yang mendorong kinerja bawahan)
adalah kepemimpinan yang memperhatikan dua aspek secara bersamaan: orientasi
terhadap tugas dan orientasi terhadap manusia. Orientasi terhadap tugas
melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang jelas dan
sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia melahirkan kepemimpinan
kesejawatan; kemauan pemimpin mendengarkan suara hati bawahan, memanusiakan
bawahan dan mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek kehidupan
organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan partisipatif
meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada gilirannya meningkatkan
kinerja mereka.
D. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepemimpinan
menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pimpinan dengan bawahan
sehingga kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin diimplementasikan dalam
bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya
diawali dengan upaya memengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai
dengan tujuan organisasi.[10]
Sedangkan
Wiles dan Bondi (1986) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “a power
relationship: the leader is percieved as having the right to prescribe behavior
patterns for other. Sources of power include referent power (liking), expert
power, coercive power and legitimate (authority), power”.
Sebagaimana
sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi
menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya
seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah, yang lebih banyak
berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan adminstratif lainnya,
melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan
mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana
ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam
pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral. Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral. Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Kepala
sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa kehadiran
kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan berjalan
efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang menjalankan perannya dalam
memimpin sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ia berperan sebagai pemimpin
pendidikan.[11]
4.
Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga
Pendidikan
A. Konsep-konsep Kekuasaan
Masalah
kekuasaan merupakan fenomena yang sangat menarik khususnya bagi masyarakat
modern. Selain hampir seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh
kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri dalam arti ingin menguasai sesuatu merupakan
sifat dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kekuasaan mungkin hanya
diidentikkan dengan kekuasaan politik, padahal itu hanya sebahagian dari apa
yang disebut kekuasaan sosial (social Power).
Menurut Rosinski,
kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia,
yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya terhadap alam. Dalam
pengertian yang lain, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat
sesuatu yang lain dari yang lain. Disini dapat kita lihat bahwa kekuasaan
merupakan suatu hal yang hakiki bagi manusia dalam arti menyimpan dan
menggunakan energi yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang lain
dari lainnya.
Arthur
Schopenhauer, menjelaskan tentang arti kekuasaan dari segi kemanusiaan,
menurutnya sumber kekuasaan tidaklah datang dari kekuatan yang transenden, meliankan
berada dalam diri manusia, yaitu kehendak (will). Tambahnya, hanya ada
satu kebenaran yang pasti di balik kenyataan, yaitu berbagai pertarungan yang
terus menerus, yang penuh gairah dari kehendak manusia, yang kehendak tersebut
sangat sulit untuk dihindari. Falsafah Schopenhauer ini selanjutnya
mempengaruhi Nietzsche, ia berpendapat bahwa dari berbagai macam kehendak yang
paling menentukan adalah kehendak berkuasa (the will to power).
Dari
beberapa pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa kekuasan merupakan karakter
khas manusia untuk bisa berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam
proses interaksinya terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya
dapat menaikkan kelas manusia tersebut untuk bisa mendominasi.
B. Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan
Ketika
membicarakan hubungan kekuasaan dan pendidikan, maka asumsi yang banyak berkembang
bahwa keduanya merupakan bagian yang terpisah, dan tidak memiliki hubungan satu
sama lainnya, padahal keduanya (kekuasaan dan pendidikan) merupakan dua elemen
penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara berkembang
maupun Negara maju. Keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat
disuatu Negara. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap
Negara, keduanya merupkan sumber transformasi sosial dalam masyarakat modern.
Pengertian
kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata memiliki konotasi yang
berbeda dengan pengertian kekuasaan yang kita lihat sehari-hari. Jenis
kekuasaan tersebut dapat kita bedakan menjadi kekuasaan yang transformative dan
kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.[12]
Arti penting
pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih bayak mengalami
masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan.
Setidaknya ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan
berdasarkan kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
1.
Proses Domestifikasi dan Stupidikasi
Proses
domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan
disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta
didik menjadi menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar
pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan
mental yang dilakukan oleh para penguasa.
2.
Indoktrinasi
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk bagi
penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum
dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada
dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan
tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. Melalui kurikulum inilah proses
indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada
terjadi. Dengan kondisi yang demikian, maka apa yang terjadi dalam proses
pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransferkan ilmu pengetahuan
secara paksa.
3.
Demokrasi
Inti dari
pendidikan demokrasi ialah manusia yang bebas, yaitu seseorang yang menghadapi
masalah-masalah hidup yang penuh problematic dengan alternatif-alternatif
yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi yang
terbaik. Dari sini jelas bahwa tuntutan dari demokratis yaitu adanya
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapkan kepada seseorang.
Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan
suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis
kungkungan.
4.
Integrasi Sosial
Integrasi
sosial merupakan capital budaya yang sangat ampuh oleh suatu masyarakat dalam
melanjutkan kehidupannya. Masyarakat yang ketiadaan capital budaya akan sangat
rentan kepada disintegrasi pada waktu mengalami krisis. Kita bisa lihat
bagaimana Negara-negara di Asia tenggara ketika menghadapi krisis tahun 1997,
akibat kurangnya capital budaya tidak kuat menahan krisis sehingga berakibat
keterpurukan yang berlarut seperti di Indonesia. Pengalaman ini kiranya cukup
mengajarkan betapa pentingnya kekuasaan yang berakar dari bawah (grass-root)
atau yang berdasarkan kepada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Iniah yang disebut tribalisme positif, yang merupakan kekuatan yang
mengikat dari suatu masyarakat.
Integrasi
sosial hanya dapat ditumbuhkan dari bawah, dari pendekatan multikulturalisme
dalam pengembangan budaya dan pengembangan pendidikan. Sumber kekuasaan
bukan berasal dari atas tetapi yang tumbuh dari bawah/masyarakat adat.
Kekuasaan yang datang dari atas hanya akan mematikan budaya dan menghasilkan
budaya yang cendrung kepada uniformisme dan menghilangkan budaya local yang justru
merupakan kekuatan dari kebudayaan itu sendiri.
Dari
penjelasan diatas tentang hubungan pendidikan dan kekuasaan termasuk
masalah-masalah yang ada di dalamnya, maka dapat kita catat beberapa hal
penting. Pertama, proses pendidikan menghasilkan manusia yang bebas,
yang mempunyai akal budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis
dan kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Kedua,
kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang terbatas tetapi
sekaligus pula bebas untuk dikembangkan oleh individu-individu dalam
mengembangkan individunya sendiri melalui partisipasi antara sesamanya dalam
lingkungan kebudayaan.
Selanjutnya,
pendidikan sering juga
dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang
menopang kerangka politik. Di Negara–negara barat kajian tentang hubungan
antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic yang
membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode
pendidikan.
Hal tersebut menegaskan
bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada
kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.
C. Peran Negara dalam Pembangunan
Pendidikan
Sebagai suatu proses
yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat,
tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah
strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat
dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output
yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara
yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program-program pendidikan
tersebut. Akan tetapi, campur tangan dari pemerintah tidak selamanya berdampak
positif bagi penyelenggaraan pendidikan, kekuasaan pemerintah dalam manajemen
pendidikan nasional harusnya tidak sampai melampaui batas yang dapat melanggar
hak asasi manusia.
Kekuasaan
politik secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan
bentuk “hidden curriculum”, yang tanpa disadari suatu sistem pendidikan
telah menjalankan berbagai macam kepentingan para penguasa. Karenanya dalam
reformasi pendidikan dewasa ini dikembangkan kesadaran masyarakat dan peserta
didik terhadap adanya hidden curriculum dibalik kurikulum sistem
pendidikan. Selanjutnya, terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan
secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan
perspektif studi cultural.
1.
Perspektif Mikro
Dalam
perspektif mikro, yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam
proses belajar mengajar. Peserta didik dalam proses belajar berkaitan dengan
tujuan pendidikan, metodologi, dan evaluasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan
tersebut didukung oleh sistem internal, yaitu; 1) pembuat kebijakan, 2)
manajemen dan 3) service. Selanjutnya, keseluruhan sistem tersebut
didukung oleh sistem eksternal, yaitu; 1) budaya, 2) kekuatan politik dan 3)
kondisi ekonomi.
Dalam
pandangan mikro ini masing-masing komponen mempunyai permsalahannya sendiri
dalam pengembangannya. Negera dapat berbuat sesuatu atau melakukan intervensi
dalam perumusan tujuan, penentuan metodologi dan cara evaluasi pembelajaran.
Keseluruhan upaya Negara tersebut tergantung kepada pengambil kebijakan dalam
bidang pendidikan, sistem manajemen yang digunakan, serta service
pendidikan yang diberikan dengan bantuan Negara. Keseluruhannya juga
tergantung kepada budaya masyarakat untuk menopang dan berkomitmen atas
terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
2.
Perspektif Studi Kultural
Dalam
perspektif studi cultural, sistem
pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial,
politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhun.[13]
Dalam hal ini, antara Negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi
dalam sistem kekuasaan. Peran Negara dalam perspektif ini dapat bersifat
positif apabila lembaga-lembaga pendidikan juga mempunyai control
terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara.
Lembaga
pendidikan dalam perspektif ini bukanlah merupakan kepanjangan tangan dari
kekuasaan Negara, melainkan sebagai partner dari Negara dalam melaksanakan
kekuasaannya. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh dalam metodologi
pendidikan, dalam manajemen dan service pendidikan terhadap rakyat banyak.
Dengan
melihat dua perspektif sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat kita uraikan
berbagai peranan Negara terkait pendidikan. Secara garis besar peranan tersebut
adalah:
1)
Pemerataan pendidikan. Jika pada
masa lalu pemerataan pendidikan berorientasi kepada target, maka hari ini dan
masa depan haruslah diarahkan kepada kualitas.
2)
Kualitas. Jika pada masa lalu
kualitas dicapai dengan evaluasi dan standarisasi semu melalui tujuan terpusat
dan kurikulum baku secara nasional, maka hari ini dan kedepan kualitas utama
yang ingin dicapai ialah yang tertinggi sesuai kebutuhan dan kondisi daerah.
3)
Proses pendidikan. Pada masa lalu
proses pendidikan tidaklah dipertimbangkan.
4)
Metodologi. Pada masa lalu
metodologi adalah indiktrinasi sedangkan pada masa depan metodologi yang
efektif adalah dialog.
5)
Manajemen. Pada masa lalu manajemen
dipegang oleh Negara dengan birokrasinya yang memegang, pada masa depan
manajemen terpusat pada institusi sekolah.
6)
Pelaksanaan service pendidikan. Pada
masa lalu Negara adalah pelaku utama. Pada masa depan pemerintah sebagai
partner yang cukup memberikan arah.
7)
Perkembangan demokrasi. Pada masa
lalu Negara menentukan bingkai dalam berdemokrasi dan terbatas pada prosedur.
Pada masa depan Negara mengarahkan perubahan tingkah laku yang demokratis.
8)
Perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Pada masa lalu bukan merupakan suatu bahan pertimbangan dalam
penyususnan kurikulum.
9)
Perkembangan nilai moral dan agama.
Pada masa lalu ditentukan oleh Negara dalam kurikulum yang terpusat. Pada
masa depan berakar dari kebudayaan dan agama setempat.
10)
Nasionalisme. Pada masa lalu
pemaksaan dari atas dan bersifat formalistik dan mengabaikan identitas daerah.
Pada masa depan pendidikan multikulturalisme menjadi sangat relevan untuk
dikembangkan.
11)
Pendanaan. Pada masa lalu seluruhnya
ditaggung oleh Negara. Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah. Pada
masa depan Negara menggunakan dana secara selektif sebagai sarana intervensi
pemerataan pendidikan, kualitas.
12)
Pelaksanaan wajib belajar 9-12
tahun. Pada masa lalu ditentukan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Pada
masa depan pelaksanaan wajib belajar sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah
dan dapat dilaksanakan secara bertahap.
Demikianlah
secara garis besar peranan Negara dalam pendidikan yang berubah fungsinya dari
masa lalu, sekarang dan masa depan. Kemauan politik telah ada dengan amandemen
UUD mengenai pendidikan. Dari segi teknis, diperlukan penelitian-penelitian
akuntabilitas yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai justifikasi
pengalokasian dana nasional dan daerah maupun dana dari masyarakat. Dimasa lalu
apropriasi dana kebanyakan didasarkan atas asumsi dan conjectures sehingga
cendrung semata-mata kearah pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas
anggaran Negara harus ditopang oleh riset yang terus menerus dan ekstensif.
D. Politik
Pendidikan
Pendidikan
adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Pendidikan adalah suatu tindakan
sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan-
hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan
dan peranan-peranan individu yang menentukan watak pendidikan di suatu
masyarakat.
Jika politik
dipahami sebagai “praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat dan
pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumberdaya dan nilai-
nilai sosial”. Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis
politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan
menurut Baldridge, lembaga-lembaga pendidikan dipandang sebagai sistem politik
mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sistem politik.
Hal ini
menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan
erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung
unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitanya
dengan aspek- aspek kependidikan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Tujuan kajian perilaku
organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan
perilaku manusia. Perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor
penyebab perilaku individu atau kelompok.
Pertama, penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting
karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain
yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi
kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor
penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan
akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu
melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam
organisasi.
Ketiga, yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan
berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai
strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif
merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Berhasil atau tidaknya
organisasi mencapai visi dan misinya juga dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan
dalam organisasi seperti “membuat keputusan, menetapkan sasaran, memilih dan
mengembangkan personalia, mengadakan komunikasi, memberikan motivasi, dan
mengawasi pelaksanaan manajemen”.
Kemudian, pendidikan
adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu
jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan
hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu yang menentukan watak pendidikan
di suatu masyarakat. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-
lembaga pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua
hal yang saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek
pendidikan selalu mengandung unsur- unsur politik, begitu juga sebaliknya
setiap aktivitas politik ada kaitanya dengan aspek- aspek kependidikan.
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan
erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan
senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap
aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan. Terkait peran Negara terhadap proses pendidikan secara teoritis dapat
dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan perspektif studi
cultural. Dalam perspektif mikro yang dijadikan pusat perhatian ialah
peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dalam perspektif studi cultural,
sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya,
sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhan.
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai
implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah Organisasi
Kepemimpinan Pendidikan tentang Perilaku Individu dan Kelompok dalam Organisasi
serta Kekuasaan dan Politik dalam Lembaga Pendidikan ini. Namun, dengan selesainya bukan
berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia, sadar bahwa dalam diri
kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang tentunya
sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.
Oleh karena itu, saran serta kritik
yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami perlukan guna penyempurnaan
dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah
sehingga kami terus termotivasi ke arah yang lebih baik dan semoga makalah kami
ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Idochi. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Badrudin. 2015. Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Danim, Sudarwan dan Khairil. 2010. Psikologi Pendidikan: Dalam
Perspektif Baru. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Djaali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Fida. 2011. Aspek-aspek Sosial dalam Pendidikan. Palembang: http://pandidikan.blogspot.co.id/2011/04/aspek-aspek-sosial-dalam-pendidikan.html. diakses pada tanggal 1 April 2016 pukul 19.00.
Maulana, Rizky. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Penerbit Lima Bintang.
Nawawi, Hadari. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT
Gunung Agung.
Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suharsaputra, Uhar. 2013. Administrasi Pendidikan. Bandung:
Refika Aditama.
Sutrisno, Edy. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Kencana.
Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan
Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang:
Indonesia Tera.
Wahjono, Sentot Imam. 2010. Perilaku Organisasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Komentar
Posting Komentar